Showing posts with label Teknologi Komunikasi. Show all posts
Showing posts with label Teknologi Komunikasi. Show all posts

TRANSFORMASI GENDER DALAM MEDIA GAME


Terdapat beberapa pertanyaan ringan yang bisa ditanyakan kepada orang yang bermain game online yaitu pernahkan mereka bertemu dengan karakter wanita dalam bermain game online? Yakinkah mereka bahwa karakter tersebut benar-benar seorang wanita (bukan wanita jadi-jadian) ? Dan kemudian dapat pula, ditanyakan pernahkah mereka memainkan karakter wanita ?

Banyak sekali karakter wanita yang terdapat dalam game. Hampir tidak ada game (baik game online ataupun game offline) yang tidak memiliki karakter wanita sama sekali didalamnya. Bahkan seringkali keberadaan karakter wanita tersebut membawa kontoversi yang besar dalam dunia nyata. Dalam game konvensional (offline), terdapat beberapa game yang dianggap melecehkan kaum hawa tersebut. Ambil contoh game Death or Alive (DOA) dimana seluruh karakter yang dimainkan berupa seorang wanita. Game tersebut menunjukkan (memperinci detail) keindahan alami dari seorang wanita dengan sebuah pertunjukan dada serta paha.

Walaupun karakter wanita dalam game online tidak dianugerahi keindahan wujud secara detail tetapi keberadaan karakter wanita sebagai seseorang yang potensial untuk dilecehkan menjadi sebuah poin tersendiri dari dunia game. Sebernarnya pelecehan terhadap karakter (atau lebih tepat sebagai id) tidak hanya terjadi dalam dunia game, hal ini juga berlangsung dalam mailist ataupun chatroom kegiatan dunia cyber lainnya. Dalam dunia maya, seorang (dengan id) wanita tidak dapat lepas dari unsur-unsur pelecehan tetapi hanya dalam game onlinelah yang menyediakan wujud visual dari id tersebut untuk dapat dipermainkan. Tindakan pelecehan tersebut tidak lepas dari adanya kebebasan dalam memilih identitas yang akan ia gunakan didunia maya.

Cyberspace ataupun secara khusus dunia game merupakan alternatif publik sphere dalam masyarakat modern. Dunia game menyajika realitas yang menyerupai dunia nyata secara visual tetapi berbagai hukum dan tatanan sosial dalam dunia nyata tidak berkembang akibat ideologi yang kuat dari masyarakatnya. Akibatnya terciptalah dorongan pembentuka perubahan sosial dalam masyarakat melalui media interaktif tersebut.

Perubahan sosial secara teknis dapat dijelaskan melalui beberapa faktor gender, entitas, agama dan pembangunan. Makalah ini digunakan dua variabel dalam pengaruh nya terhadap perubahan sosial. Teknologi dianggap sebagai salah satu aktor dalam perubahan sosial kemudian teknologi sendiri mendapatkan perannya sebagai produk yang dihasilkan oleh tatanan gender.

Teori fungsional-struktural mempersempit perubahan, hanya terbatas pada jenis proses tertentu saja. Mereka tidak menyangkal perubahan yang terjadi di berbagai tingkat, namun beropendirian bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan di dalam sistem sosial (nilai-nilai) dan perubahan struktur (peran-peran sosial) (Lauer, 1989:155). Nilai-nilai yang dipresticekan dalam dunia fisik seringkali berubah secara total ketika berada dalam dunia maya.

Memang menjadi sebuah keanehan tersendiri, seorang pria sering merasakan gengsi ataupun adanya harga diri yang tinggi jika dihubungkan dengan segala sesuatu yang berbau feminisme. Tetapi dalam dunia game ternyata banyak pria yang berwujud wanita. Apalagi dalam game online, dimana identitas fisik asli tidak dapat terlihat oleh karakter lainnya sehingga mampu memberikan kesenangan tersendiri dalam melakukan penipuan. Karena memang inilah karakteristik dalam dunia virtual yaang selalu mengungkapkan serta mengagungkan ketidak dikenalannya (anonymous).

Role Playing Game (RPG) merupakan jenis game terfavorit yang memberikan kepuasan menjadi seorang wanita dalam game online. Salah satu alasan mengapa genre game ini menjadi terfavorit dalam perubahan genre mungkin dapat dilihat dari banyaknya dialog-dialog serta cerita yang dapat memperkuat identitas kewanitaannya. Selain itu terdapat pula berbagai hal bersifat teknis yang menjadi alasan kuat seseorang menggunakan karakter wanita seperti alasan skill yang lebih baik serta perhatian dari pemain lain. Kemudian hal lain yang menjadi alasan utama pemakaian karakter wanita adalah pada sensualitas keindahan visual grafiknya (entah bermaksud melecehkan ataupun hanya sekedar menikmati).

Sebenarnya, seseorang yang menggunakan karakter wanita dalam game belum tentu mampu menghayati (menikmati) keberadaannya sebagai wanita dalam game online. Ketakutan untuk membawa karakter wanita tersebut kedalam dunia fisik merupakan salah satu alasan yang membuat seorang gamer kurang menyenangi karakter tersebut. Jika dilihat dalam segi teknis maka karakter wanita merupakan jenis karakter dengan power yang lebih rendah dibanding karakter pria pada level yang sama. Kemudian adanya berbagai macam pelecehan yang mungkin terjadi sehingga membuat gamer online merasa kesal ketika berperan sebagai wanita. Mungkin hal inilah yang menyebabkan pembagian imbang secara gender dalam game online.

Ternyata perubahan menjadi karakter wanita ini juga dimanfaatkan oleh server untuk menguji serta mencari id pelaku tindakan pelecehan terhadap pemain lain. Server menggunakan id palsu tersebut sebagai sebuah tindakan preventif dari sikap-sikap tidak senonoh para gamer. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa seorang wanita merupakan sasaran yang potensial sebagai bahan pelecehan bagi kaum pria. Benarkah semua karakter wanita dalam Game Online cuma merupakan wanita jadi-jadian ? Belum tentu.

Banyak wanita yang juga menyenangi bermain game (online ataupun offline). Tentu hal tersebut memberikan fenomena dimana terdapat kemungkinan seorang wanita berganti gender menjadi pria. Tidak ubahnya sebuah fenomena dalam dunia fisik, dunia dalam game telah menyediakan fasilitas resmi bagi seseorang untuk mampu berganti jenis kelamin baik dari seorang wanita menjadi pria ataupun sebaliknya.

Mengingat kembali pendapat Moose (2003) yang menganggap bahwa gender merupakan seperangkat peran, menyampaikan kepada orang lain bahwa seseorag maskulin ataupun feminis melalui penampilan pakaian sikap, kepribadian. Sehingga transformasi gender terjadi dalam kondisi tersebut. Perubahanan seperti ini merupakan hak azasi bagi user dalam cyberspace dan tidak ada hukum dunia fisik (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang dapat membatasi ruangan bebas tersebut.

Perubahan sosial secara tegas dapat dimaknai sebagai perubahan terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap belum ada ataupun tuntutan dari perasaan ketidak adailan sosial dan kemapanan. Dalam tahapan ini teknologi membawa peranan yang signifikan dengan adanya perspektif maskulin dan feminis didalamnya. Pada kenyataannya, pembedaan tersebut telah mengalami berbagai macam perubahan, dimulai dari penggunaannya secara kuantitatif hingga realitas didalamnya berupa transformasi gender.

Phillips (1982) mengungkap You dont have to wear anything (Evert N. Rogers, 1986: 43). Ungkapan tersebut dapat juga diartikan secara harafiah ataupun sebagai kiasan. Secara harafiah kalimat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dapat telanjang secara jasmani saat melakukan akses ataupun masuk dalam dunia maya (game). Secara kiasan, statement tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak perlu berlaku jujur ataupun sebaliknya dalam dunia maya. Tidak diperlukan topeng-topeng sosial yang telah menciptakan hierarki masyarakat fisik. Kemudian benarkah kita tidak perlu memakai wajah sosial kita? Benarkah virtual community mampu membawa kita terhadap penghapusan strata sosial yang menjadi budaya masyarakat?

Secara ideologis hal tersebut dapat terjadi terutama jika melihat karakteristik dari dunia cyber sendiri yang lebih berupa pada bentuk anonymous (ketidak dikenalan). Dengan karakter tersebut memacu adrenalin manusia yang memuja sebuah kebebasan untuk berlaku lebih brutal. Dalam dunia fisik komunitas pemuja segala bentuk kebebasan telah menghadirkan komunitas Punk. Sedangkan dalam dunia cyber kondisi tersebut dapat menghasilkan komunitas cyberpunk. Walaupun secara harafiah komunitas cyberpunk tidak dapat disamakan dengan komunitas identitas palsu, setidaknya hal tersebut merupakan sebuah wujud kebebasan manusia dalam berpendapat, berbicara bahkan menumpahkan segala bentuk ketidakstabilan emosinya.

Wujud pemberontakan terhadap tatanan budaya yang beredar dalam masyarakat tampaknya menjadi dalang utama dari penggunaan identitas palsu. Virtual Community memiliki perasaan yang terkekang, terhempas bahkan tersingkirkan dari perilaku normal dalam dunia fisik. Dalam hal tersebut dunia virtual telah menyediakan sebuah ruangan yang memungkinkan jiwa pemberontak tersebut mampu berkembang. Tentu pemakaian nama samaran (computer name) menjadi sebuah media alternatif yang layak digunakan untuk melampiaskannya. Dengan memposisikan kehidapan network sebagai suatu bentuk komunikasi interaktif dimana terjadi keseragaman karakter media komunikasi (kesamaan bentuk tulisan) juga telah memberikan andil besar dalam pemakaian identitas palsu oleh komunitas virtual.


Game online membawa angin segar terhadap permasalah gender tersebut. Realitas yang menjadi menarik dimana kekuatan hukum secara sosial terhadap inferioritas wanita dan superioritas laki-laki, tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia game. Realitas yang dibawa kedalam dunia game merupakan realitas yang berbeda dari dunia nyata. Sehingga tawaran inilah yang menyebabkan adanya perubahan sosial terhadap sterotip gender.

DAFTAR REFEENSI



Evert N, Rogers. 1986. The Communication Technology.
Laurer, Robert H. 1989.Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta
Mosse, Julia Cleves. 2003.Gender dan Pembangunan, Pengantar Dr. Mansour Fakih. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Lanjutkan...

PONSEL DALAM PUBLIC SPHERE


McLuhan dalam Laurer (1989: 206) menyatakan bahwa setiap teknologi, secara bertahap menciptakan lingkungan kehidupan manusia yang sama sekali baru. Menurut pandangan ini, teknologi adalah kekuatan yang besar dan tidak dapat terbendung pengaruhnya pada perubahan. Dalam kaitannya dengan pubik sphere, perkembangan teknologi komunikasi terutama handphone selain membawa perubahan, turut serta menciptakan berbagai macam problematika tersendiri. Mengutip pendapat Denis Goulet,

“teknologisasi yang terjadi di dunia ketiga adalah ibarat pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai. Sebagai pembawa nilai-nilai borjuis-kapitalis barat yang rasionalistik, individualistik, postifistik, tetapi juga sekaligus penghancur nilai budaya lokal dan religius-asketis, fatalis serta memegang teguh prinsip collective colegia” (Arif dalam Abrar, 2003: 2)

Salah satu permasalahan krusial dalam pengadopsian teknologi komunikasi tersebut ialah produk budaya yang dihasilkan oleh salah satu layanan handphone bias dalam ranah publik.Walaupun seyogyanya masyarakat menggunakan handphone sebagai alat untuk menambah kemampuan orang dan berkomunikasi. Tetapi nilai imperalis dan kapitalis barat telah memaksakan penggunanya untuk merealisasikan budaya tersebut dalam ranah publik. Tengok problematika yang dihadapi oleh publik dengan kasus di Selandia Baru. Mengutip sebuah artikel yang diambil dari Kompas,(2007)

“Siswa sekolah menengah atas (SMA) di Selandia Baru akan diizinkan memakai bahasa seperti yang biasa dipakai dalam pesan singkat telepon seluler (SMS). Para pejabat pendidikan negeri kiwi itu, Jumat lalu, mengatakan, bahasa tulis ala SMS bahkan bakal diizinkan dipakai dalam ujian akhir nasional (UAN) tahun ini...”

Euforia terhadap hadirnya budaya populer yang dibawa oleh layanan handphone kemudian membentuk idealisme globalisasi atau mungkin adanya tekanan dari pihak yang lebih kuat dari pemerintah (baca: kapitalis internasional) yang menyebabkan hal tersebut. Budaya global yang tidak terlalu signifikan bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat ternyata secara sukses melakukan penetrasi kedalam lingkungan public sphere tepatnya ranah pendidikan. Apakah hal ini merupakan bentuk neo-imperialisme dan komersialisasi pendidikan di Selandia Baru ? Tak pelak lagi bahwa hukum dan proses legal memang merupakan bumbu esensial dari (Gramsian) hegemoni. (Latif & Ibrahim, 1996: 34).

Perubahan bentuk komunikasi melalui handphone pun tidak lagi dapat terelakan. Memasuki era dimana dunia media massa dan teknologi komunikasi informasi diintegrasikan kedalam sebuah jaringan virtual, komunikasi melalui handphone tidak lagi berbentuk komunikasi interpersonal (komunikasi bermedia). Komunikasi dengan media handphone mulai merambah dalam bentuk komunikasi massa. Hal ini sangat terbukti dengan hadirnya fasilitas teknologi informasi dalam industri media massa yang memungkinkan menampilkan pesan interpersonal handphone kedalam medianya. Tidak terkait dengan implikasi negatif ataupun positif yang menjangkiti kondisi tersebut, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa teknologi komunikasi mulai “dipersiapkan” bermeatamorfosis menjadi teknologi yang berbentuk lebih masif.

Problematika dari pergeseran ranah teknologi komunikasi (khususnya handphone) menjadi lebih masif semakin memperkeruh bias pemakaian handphone dalam publik ataupun private sphere. Seringkali seseorang mendapatkan SMS yang bersifat broadband[1] dari institusi tertentu yang notabene mengganggu lingkup privat seseorang. Kehadiran iklan, layanan serta informasi yang dianggap tidak signifikan kepada komunikan secara stimulan merupakan indikator biasnya ranah private dan publik yang dimiliki oleh handphone. Seharusnya bentuk komunikasi persona dalam handphone membawa pesan-pesan yang lebih bernuansa persona tetapi dunia kapitalis membawa pesan tersebut kearah konsep komunikasi massa. Komunikasi dimana membawa adanya komunikan secara masif sebagai acuan dianggap merupakan salah satu ruang publik bagi masyarakat. Siregar dalam makalahnya “Jurnalisme, Publiksphere dan Etika: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme” memandang, secara ideal ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal/ individu, yang bersih / terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi kehidupan publik adalah pada kehidupan warga masyarakat, dalam proses interaksi personal atas dasar kultural.

Dengan hadirnya entitas layanan massal handphone bagi konsumennya, mencitrakan user dari teknologi komunikasi (handphone) telah digiring menuju konsep ruang publik dalam lingkup kekuatan kapitalisme pasar (market capitalism). Dalam menghadapi kekuasaan kapitalisme pasar, warga masyarakat sebagai konsumen, yang dicerminkan dari nilai ekonomis warga bagi produsen dalam konteks kapitalisme (Siregar). Dengan memaksakan konsepsi sebagai konsumen dan produsen jasa, industri seluler telah mengaburkan bentuk dari komunikasi yang ditambatkan dalam teknologi komunikasi sebagai komunikasi bermedia dan interpersonal.

Menurut Evertt M. Rogers, pesan yang dibawa teknologi komunikasi adalah mendidik pemakaiannya untuk melakukan demassifikasi. Berdasarkan kata “de” yang berarti menegasikan masiffikasi, artinya pesan yang dibawa oleh teknologi komunikasi harus bersifat tidak massal (personal). Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak dimana mereka dapat berhubungan dengan siapapun yang mereka kehendaki bahkan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan mereka (Abrar, 2003: 9). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsep media massa dimana kontrol pesan dilakukan oleh produsen pesan. Khalayak dipandang secara pasif hanya sebagai objek penerima pesan. Konsepsi seperti inilah yang sebenarnya membingkai hegemoni kapitalis industri seluler dalam pembiasan antara bentuk komunikasi interpersonal (private sphere) dan komunikasi massa (publik sphere) melalui teknologi komunikasi dalam handphone.

Sejarah telah mengajarkan bahwa perkembangan teknologi sering menimbulkan masalah baru. Malahan teknologi baru yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan teknologi sebelumnya, juga menimbulkan masalah baru (Lubis, 1985: 86). Mengutip pendapat Abrar (2003: 2), walaupun handphone menciptakan gaya serta tingkah laku kapitalis yang profit oriented dan mengamalkan budaya konsumtif. Walaupun handphone menjadikan penggunanya memiliki ideologi baru dalam konteks intelektualitas dan moralitas. Tetapi, itu memang harga yang harus dibayar untuk teknologisasi.


DAFTAR REFERENSI



Abrar, Ana Nadya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor: Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim. Mizan: Bandung.
Laurer, Robert H. 1989. Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta.
Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Jakarta: Inti Idayu Pers.

Arsip Internet
Siregar, Ashadi. JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme. Terarsip pada http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf
Kompas. 2007. Terarsip pada href="http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm">http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm






[1] Teknologi informasi dengan pengiriman data secara massal kebeberapa receiver secara serempak. Dalam ponsel teknologi ini digunakan operator untuk “berkomunikasi” dengan beberapa pelanggan dalam satu tempo waktu.


Lanjutkan...