Showing posts with label Media Penyiaran. Show all posts
Showing posts with label Media Penyiaran. Show all posts

SINETRON ANAK : TERPINGGIRKAN*


Untuk mengidentifikasi sebuah sinetron yang ditujukan untuk kelompok usia tertentu, apakah masuk dalam segmen anak-anak, remaja, dewasa atau keluarga. Bisa dilihat dari (1) tokoh pemainnya, dan (2) penggarapannya, seperti laga dan dialognya.

Mayoritas jam-jam siar televisi diperuntukkan bagi pemirsa dewasa. Atas dasar pengamatan pribadinya, Arswendo menemukan, bahwa:

“Sekarang ini sinetron didominasi sinetron untuk orang dewasa. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, setiap harinya sinetron untuk orang dewasa kira-kira 40 jam setiap hari. Di luar negeri sekitar 25 jam. Anak-anak nggak ada 5 jam. Itu dari orang tua dan anak.”

Tidak hanya itu, ternyata sineton-sinetron anak-anak umumnya diimpor dari luar negeri. Sinetron murni anak-anak seperti Teletubies, Crayon Shinchan dan Doraemon yang berhasil meraih audience rating lumayan ialah sinetron impor. Sinetron tersebut memang murni ditujukan untuk pemirsa anak-anak. Gufron Syakaril mengatakan :

“Teletubies itu justru banyak ditonton oleh orang yang nggak tahu apa-apa itu. Tetapi memang dari sananya begitu. Umur 3 tahun atau 2 tahun, yang ngowo begitu. Ternyata banyak yang berumur dibawah 5 tahun daripada yang sudah sekolah. Anak-anak yang sudah sekolah ada yang senang, tetapi masih lebih banyak anak-anak yang lebih kecil daripada itu. Datanya dari ACNielsen, dia bikin profil pemirsanya.”

Keberadaan sinetron-sinetron anak-anak impor itu memang menimbulkan kritik keras karena dicurigai membawa nilai budaya asing yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Misal, Teletubies, dikritik karena menggambarkan okoh homo yang tidak jelas identitasnya. Crayon Shincan menggambarkan anak yang cerdas tapi kurang ajar.

Sementara sinerton anak-anak murni asli indonesia justru bisa dihitung dengan jari. Misal, Incen yang ditayangkan di RCTI. Yang lebih parah, sinetron anak-anak Indonesia umumnya “diseret-seret” sehingga menjadi sinetron keluarga, tidak murni sinetron anak-anak lagi. Ada tokoh ayah, ibu dan anak. Andi Bersama menggambarkan fenomena ini dengan mengatakan :

“Umumnya, sinetron anak-anak bergeser menjadi sinetron keluarga setelah episode ke 5-6. Hal itu terlihat dari identifikasi pemain-pemainnya. Akhirnya sinetron itu bergerak menjadi sinetron keluarga dengan peran ayah, ibu dan anak.”

Mencermati jajaran sinetron yang pernah masuk dalam jajaran sepuluh besar selama 54 minggu (6 Agustus 2000 – 25 Austus 2001) maka tampak jelas, disana ada Bidadari, sinetron yang awalnya dimaksudkan untuk sinetron anak-anak. Namun apabila dicermati, tokoh-tokoh yang diangkat ada tokoh lala (diperankan oleh Marshanda), tokoh antagonis Bombom (diperankan Cecep), kemudian ada juga peran ayah dan ibu. Jadilah sinetron keluarga juga.

Ada juga sinetron anak-anak yang terseret kemana-mana sehingga identitasnya menjadi tidak jelas. Misal, Saras 008. Lagak dan dialognya menggunakan sinetron anak-anak, tetapi usia pemeran utamanya jelas bukan anak usia 9 tahun kebawah. Selain itu, sinetron tersebut juga penuh dengan peran yang dimainkan oleh orang dewasa.

Pemicu minimnya sinetron anak-anak sesungguhnya sangat klise, masalah keterbatasan sumber daya manusia. Indonesia sangat miskin penulis yang mampu menerjemahkan psikologi anak kedalam bentuk naskah dan skenario sinetron cerita anak-anak yang bagus. Gufron Syakaril mengakui:

“Ya sesunggunya kita miskin sinetron anak-anak. Dalam arti yang sesungguhnya. Saat ini sinetron anak-anak sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Hal itu karena sulit mencari penulisnya.”

Soal kecenderungan “menggeret” sinetron anak-anak menjadi sinetron anak dan keluarga, tertumpu pada persoalan kebudayaan indonesia dimana anak-anak selalu ditempatkan pada kontek keluarga dan diproteksi dalam suatu keluarga. Gufron Syakaril mengatakan:

“Itu tak dapat dipungkiri karena dunia anak-anak itu lingkungan keluarga. Kalau anak-anak dibiarkan berkembang sendiri, mungkin akan uncontolable. Biasanya kita agak susah. Ketika semua tokohnya anak-anak, ceritanya menjadi tidak menarik. Ya ketika suatu saat harus ada petuah, lalu petuah itu datang dari mana, kan susah. Masa anak-anak ngajari temennya kan susah juga, iya kan? Biasanya petuah, contoh, kebaikan dan sebagainya datang dari orangtua, paman, atau yang lain. Itu akan terasa lebih wajar dan berlaku dalam masyarakat kita. Jarang sekali anak kecil menasehati temannya.”

Sementara itu Arswendo Atmowiloto mengatakan:

“Karena sinetron anak-anak dalam konteks Indonesia peran orang hampir tidak ada, hampir nggak mungkin. Seperti Agree fen. Sebenarnya bisa tapi agak sulit.”

Disamping fakor budaya, ada faktor lain yang turut memiliki andil besar dalam arus menggeret sinetron anak-anak menjadi sinetron anak-anak setengah keluarga, yaitu audience rating. Misalnya sinetron Bidadari yang telah terseret menjadi sinetron anak dan keluarganya, mampu menempati rating sepuluh besar teratas.

Dalam kondisi keterbatasan penulis cerita anak yang sedemikian parah, hal ini dipandang “bisa dimaafkan” dengan sejumlah kondisi, anak-anak harus tetap menjadi subjek. Arswendo Artowiloto mengatakan:

”yang menjadi masalah, kalau sinetron anak-anak tapi dominasi cerita dan penentunya atau decision maker dari awal sampai akhir anak-anak, itu bahkan menjadi masalah.”






* Dikutip penuh dari Muh labib. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.Jakarta: MU:3 Books hal 88-91.


Lanjutkan...

REPRESENTASI GENDER DALAM LIRIK THEME SONG SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


Aroma doktrin gender dalam budaya patriarki sudah tercium melalui lagu pembuka sinetron. Lirik dalam lagu sound track ini penuh dengan nuansa marjinalisasi gender. Perhatikan lirik berikut:


Begini begitu; Kesini kesitu; Manggut-mangut melulu;
Selalu mau; Kok ya mau
Dicaci-dimaki; Kata sang istri; Selalu nunduk-nunduk
Tapi hati mengkerut; Kaya kerupuk
Begini salah-begitu salah; Kata sang istri; Semua salah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Kasian banget deh loe...)
Begini salah-begitu salah; Dasar sang istri; Yang gak mau kalah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Makanya jangan macam-macam sama perempuan...)


Diawal lirik, tampak penguatan terhadap adannya sterotip gender terhadap wanita. Lihat pada baris pertama lagu diatas.

Dicaci-dimaki...Kata sang istri...Selalu nunduk-nunduk...Tapi hati mengkerut...Kaya kerupuk...Begini salah-begitu salah...Kata sang istri...Semua salah...


Dalam lirik ini direpresentasikan adanya sterotyping bahwa seorang wanita memiliki otoriterisme terhadap cacian dan makian. Wanita dianggap sebagai makhluk yang non-altruistik. Kaum feminis juga dianggap memiliki egosentris yang sangat besar terutama terhadap kaum pria (dalam sitkom tersebut). Terlihat dari kalimat Begini salah begitu salah, kata sang istri semua salah. Egoisme wanita yang dikonstruksikan secara berlebihan (terlepas dari dekonstuksi oleh khalayak) memberikan nilai-nilai propagandis terhadap audiencenya terutama kaum maskulin. Ketika mendapatkan caci dan makian wanita, kaum maskulin yang sabar dianggap memiliki hati dan mental yang lemah (melempem). Seharusnya (menurut budaya patriarki) kaum maskulis harus bersikap tegas, keras bahkan (mungkin) kasar jika menghadapi dominasi kaum feminis. Perhatikan pada lirik reff berikut:

Takut.. takut.. takut Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt Ciut.. ciut ciut Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt


Dari semiotika sepenggal lirik yang diusung dalam sinetron ini, kalimat dalam lirik diatas memiliki multi-intepretasi dalam pemaknaannya. (1) Bahwa seorang suami seharusnya tidak takut dengan istri, mereka harus mampu memberikan kasih sayang dan nafkah pada istri (2) Seorang suami seharusnya tidak takut pada sang istri karena suami yang takut dengan istri adalah seorang pengecut (nyalinya ciut). Intepretasi kedua ini lah yang kemudian pada dasarnya melegitimasikan dominasi budaya partiarki dalam realitas sosial masyarakat yang diintepretasikan melalui sinetron.

Ideologi patriarki sebagai suatu istilah dari psikoanalisis the law of the father, yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita Budaya patriarki tersebut menganggap bahwa kaum maskulis adalah kaum yang lebih dominan dalam segala hal termasuk urusan rumah tangga. Sedangkan wanita dipandang layaknya seseorang yang selalu dikontrol oleh pria. Ketika kontrol tersebut terlepas maka pihak pria lah yang dianggap lemah, bukan pria yang sesungguhnya karena tidak mampu menjaga wanita untuk tetap berada dibawah.

Posisi wanita dalam lirik ini tidak dipandang sebagai sebuah kesetaraan gender yang menganggap fungsi dan kedudukannya sama dengan pria tetapi lebih sebagai pemicu (integer) bagi olok-olokan yang ditujukan kepada para pria. Ideologi bahwa wanita seharusnya adalah objek bagi kaum pria baik sebagai objek seksual, dominasi lingkungan domestik, fungsi ekonomi diperkuat melalui lirik ini. Apakah ketika wanita sedikit mulai keluar dari subordinasinya maka hal tersebut merupakan penyalahan kodrat ? Ideologi dalam lirik ini mencitrakan ketika inferioritas kaum wanita menjadi berkurang maka seharusnya para pria (suami) harus kembali menekannya kedalam kultur patriarki mereka. Kurang lebih lirik tersebut ingin mempropagandakan para pria bahwa wanita termasuk istri merupakan makhluk yang harus tersubordinasi oleh pria sehingga jangan biarkan mereka mampu naik kelas. Jika hal tersebut terjadi maka seorang pria dianggap tidak memiliki keberanian (nyali).

Doktinasi dan pekatnya kekerasan gender begitu mendominasi dalam sitkom ini. Budaya-budaya yang dianggap sebagai salah satu wujud perjuangan kaum feminis, direkonstruksikan sedemikian rupa sehingga tak ayal malah melenceng dari idealisme semula. Masih pekatnya nilai-nilai patriarkis pada pengelola media massa merupakan cerminan dari kuatnya hegemoni ideologi dunia kapalis dunia industri hiburan (entertaintment). Televisi memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyaralat. Melalui interaksi simbolik, konstruksi sosial kadanga mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahami eksistensi materi dari yang disadari. Hegemoni media dilakukan melalui mekanisme tertentu untuk membentuk pemikiran media (agenda media) sebagai katalisator agenda setting dalam masyarakat.

Menurut Muh. Labib (2002) dalam bukunya Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial yang diterbikan olehMU:3 Books jakarta, bentuk kekuatan hegemoni industri adalah kemampuan menciptakan citra-citra baru dan menghapus citra-citra lama (Gregt T. Gothald menyebutnya sebagai ikonoklame). Penciptaan tersebut menghasilkan perubahan persepsi dan image masyarakat tentang sesuatu. Kodifikasi terhadap simbol-simbol propaganda yang dipetakan oleh sitkom ini (melalui liriknya) menghasilkan konsepsi budaya patriarki yang sistemik terutama terhadap kaum maskulis untuk selalu mengontrol (mental dan fisik) dari kaum feminis. Bukan lagi berada pada ranah perjuangan kaum feminis dalam mencapai kesetaraan gender.

Lanjutkan...

DIALEKTIKA KEKERASAN GENDER DALAM SITKOM SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


McQuail (1989) dalam Dayanti menyebutkan media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma perilaku. Dalam hal ini media televisi lah yang membawa pengaruh pesan yang lebih efektif dibanding media massa lainya. Kekuatan utama dari televisi ialah format audio-visual yang mentransmisikan pesan kepada khalayak. Dengan keadaan ini maka media penyiaran memiliki pengaruh cukup kuat dalam penyebaran nilai dan ideologi tertentu.

Bungin dalam Labib (2002: 3) mengatakan media memiliki kekuatan besar untuk memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya melalui replika citra ke dalam realitas sosial yang baru dalam masyarakat. Jalaluddin Rachmad menyebut realitas televisi sebagai realitas tangan kedua (second hand reality)[1]sedangkan Marshal McLuhan menggunakan istilah “rearview mirrorism”[2]. Sen dan Hill (2001) berpendapat media massa memberikan representasi yang yang paling besar terhadap realitas sosial dalam masyarakat.

Sejalan dengan tumbuh kembang realitas sosial yang direkonstruksikan dalam media massa, tidak melepaskan persoalan gender didalamnya. Mulai dari industri periklanan yang seringkali menempatkan wanita sebagai objek strerotip gender. Lihat pada iklan rokok Gudang Garam dengan slogannya: “Pria Punya Selera”. Dari iklan tersebut, terlihat sebuah reduksi dimana pria adalah makhluk superior bila dibandingkan dengan wanita, oleh karena itu kedudukan pria lebih tinggi dari wanita. Konsep yang serupa juga diaplikasikan pada berbagai produk media penyiaran salah satunya sinetron.

Sinetron merupakan salah satu genre yang mendominasi industri media massa di Indonesia. Sinema Elektronik merupakan tayangan dengan menggunakan konsepsi film cerita yang kemudian dibawa kedalam format industri layar kaca (Labib, 2002: 1). Tidak berbeda dengan film, sinetron dalam menggambarkan wanita penuh dengan hiper-realitas yakni dipenuhi dengan nilai-nilai konsumerisme, seksualitas, dan stereotip gender (Suryandaru, 2002 dalam Dayanti).

Harapan akan hilangnya kekerasan terhadap wanita (dalam sinetron khususnya) rasanya ingin diwujudkan oleh Sitkom (sinetron) Suami-Suami Takut Istri. Sinetron ini mencoba menangkap kehidupan kelas menengah di Jakarta dengan sudut pandang yang berbeda. Pada permasalahan gender dalam media massa khususnya, wanita sering direpresentasikan sebagai subjek yang melakukan tindakan kekerasan sekaligus korban dari tindakan kekerasan tersebut. Budaya patriarki yang notabene ingin digusur oleh sineton tersebut, realitasnya semakin memantapkan representasi dominasi gender maskulin. Para suami yang dijadikan “korban” gender secara dialektis dibingkai menjadi pelaku (subjek) dari kekerasan gender itu sendiri.

Dialektika kekerasan gender dalam Suami-Suami Takut Istri terlihat sangat jelas melalui jalinan cerita yang memanfaatkan tokoh para suami dan para istri. Para istri dan suami secara dialektis ditempatkan sebagai subjek (pelaku) kekerasan gender sekaligus objek (korban) dari kekerasan gender. Para istri dipandang sebagai pelaku kekerasan gender secara fisik dengan menciptakan dominasi dan otoriterisme dalam lingkungan keluarga ketika mendapat kekuasaan. Kekuasaan tersebut didapatkan melalui kemampuan finansial (tokoh Deswita), kecantikan (tokoh Sheila), kewanitaan (keluguan dan kepolosan tokoh Welas) serta fisik yang besar (tokoh Sarmila/Bu RT). Kekerasan secara fisik yang menempatkan para istri sebagai subjek kekerasan gender ternyata menimbulkan dialektika terhadap kekerasan itu sendiri.

Walaupun para istri berada pada posisi yang dominan terhadap suami-suami mereka dengan cara mengontrol segala tingkah-laku, kegiatan bahkan keuangan. Tetapi hal ini direpresentasikan dengan karakter yang menganut ideologi skeptis tentang wanita. Stigma negatif bahwa wanita hanya mampu menggunakan “kewanitaannya” dan “kecantikannya” untuk memaksa suami pasrah menuruti segala keinginannya. Berbagai scene dan dialog antara pasangan Tigor-Welas dan Sheila-Karyo merepresentasikan hal ini.

Ketika Tigor berusaha untuk “merayu” Pretty atau melakukan kesalahan maka merengek dijadikan “senjata utama” bagi Welas untuk membawa Tigor kembali berada dalam kontrolnya. Begitu juga kecantikan Sheila yang selalu dipresentasikan lebih unggul dibanding Karyo, akan selalu membuat Karyo menuruti perintah istrinya. Karyo menerima segala makian, ejekan, olok-olok, perlakuan kasar istrinya hanya karena menganggap dia telah “kalah” secara fisik. Kecantikan dan keluguan dipandang hanya sebagai alat yang digunakan untuk mengontrol pria.

Dialektika lain pada sang istri, terdapat pada karakter Deswita dan Sarmila (Bu RT). Kedua karakter ini direpresentasikan mendominasi suaminya (wanita sebagai subjek kekerasan gender) dengan memanfaatkan stigma kekuatan finansial dan fisik (wanita sebagai objek kekerasan gender). Dengan membawa kultur ekonomi (finansial), bahwa ketika Deswita memiliki penghasilan yang lebih maka ia memiliki hak untuk menguasai suaminya. Terkadang dipandang sebagai “balas dendam” terhadap kultur patriakis dalam masyarakat. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita. Kembali ke persoalan Deswita, sayangnya kontrol kaum feminis ini bergerak terlampau jauh dan berlebihan terutama masalah keuangan. Untuk pengeluaran pun Faisal harus meminta uang pada Deswita. Representasi kekerasan gender terhadap wanita yang terbentuk ialah dengan kemampuan secara finansial maka segala kontrol rumah tangga dipegang oleh wanita yang membawanya kembali pada budaya patriarki tradisional (pandangan bahwa wanita lebih cermat mengurus keuangan/rumah tangga dibanding pria).

Sedangkan karakter yang dibawa oleh Sarmila (Bu RT), secara konsisten melakukan dominasi terhadap seluruh warga dilingkungan dengan memanfaatkan fisik yang besar. Hal ini merepresentasikan stigma bahwa wanita yang bertubuh besar akan mampu memaksa (secara kasar) orang lain untuk menuruti keinginannya. Dari keseluruhan representasi istri yang dibentuk oleh sitkom ini, mencitrakan bahwa wanita selain digambarkan sebagai subjek kekerasan maka sebernarnya ia adalah objek kekerasan gender dari kultur masyarakat yang diangkat media massa. Sekaligus melegitimasi stereotip wanita yang memiliki kekuatan (kecantikan, kewanitaan, fisik dan finansial) maka mereka menjadi sangat otoriter.

Pada karakter suami, dialektika yang terjadi ialah pria dijadikan objek kekerasan gender (oleh wanita) sekaligus subjek/pelaku kekerasan gender terhadap wanita. Melalui karakter-karakter suami, digambarkan bahwa pria yang tidak dominan adalah pria pengecut yang selalu ditindas oleh istrinya (cermati lirik lagu OST sitkom ini). Tindakan kekerasan fisik digambarkan secara eksplisit oleh sitkom ini sehingga memposisikan kaum pria sebagai korban kekerasan. Dimana Karyo dicubit perutnya, Faisal dijambak rambutnya, Sarmili dikurung dalam kamar mandi dan Tigor dengan pantomim. Kondisi ini memberikan representasi bahwa pria yang lemah ialah orang yang selalu dipermainkan oleh wanita.

Posisi objek (korban) ini berubah menjadi subjek (pelaku) ketika karakter suami bertemu dengan tokoh Pretty. Mereka menjadikan tokoh Pretty ini sebagai objek seksual yang tetap bisa “dinikmati” walaupun mereka telah berkeluarga (dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap karakter wanita). Menurut Rohan (1998: 4), perilaku pelecehan termasuk (1) gerakan fisik misalnya rabaan, cubitan, tindakan intimidasi atau yang memalukan (kerlingan, siulan, tingkah tidak senonoh), rayuan seks badani dan serangan seksual. (2) Tingkah laku yang berupa ucapan seperti pernyataan yang dirasa sebagai penghinaan, lelucon yang bersifat menghina. (3) Bahasa yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal (4). Hal-hal yang menyinggung misalnya gambar-gambar porno, lambang dan lukisan grafis.

Sedangkan survey Alvred Marks (1991) menemukan bentuk pelecehan paling umum adalah rabaan/tepukan, ucapan atau gurauan seksual secara teratur, dilihat dari atas kebawah dan pandangan cabul pada bagian tubuh (Rohan, 1998: 9). El-Saadawi (2001: xxvi) dalam bukunya “Perempuan Dalam Budaya Patriarki” menganggap hak-hak seksual seperti yang dipraktekkan masyarakat barat tidaklah memberikan kemerdekaan kepada wanita, malah mengakibatkan bertambahnya penindasan karena wanita diubah menjadi tubuh-tubuh komersil serta peningkatan laba kapitalis. Hal ini mengukuhkan idealisme patriarki yang memandang bahwa maskulin akan selalu berada diatas feminim dalam keadaan apapun. Walaupun adanya dominasi kaum feminim, tetapi pria akan selalu mampu mencari celah untuk menjadikan wanita sebagai objek bagi mereka.

Sebenarnya penggambaran wanita yang dominan dan “kuat” kebanyakan justru menempatkan wanita itu sendiri sebagai objek olok-olok. Kekuatan yang diperlihatkan biasanya justru hal-hal yang hanya menampilkan “kekuatan” secara superfisial seperti ambisius, suka menang sendiri, sok-pintar, suka intrik. Hal ini tentu mereduksi konsep kesetaraan gender, diganti dengan skeptis yang dikonstruksikan oleh budaya patriarki. Perlakuan dan dominasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh wanita dewasa, bahkan anak-anak (wanita) direpresentasikan memanfaatkan dominasi ibunya untuk menekan dan melakukan kekerasan terhadap pria. Idealisme kesetaraan gender yang mencoba diangkat melalui sitkom ini notabene hanya berubah menjadi dialektika kekerasan gender dan memperteguh ideologi budaya patriarki tradisional dalam media massa. Kentalnya budaya patriarki yang menyelimuti cara pandang pengelola media nyatanya tidak membawa kearah kesetaraan gender dalam Suami-Suami Takut Istri, yang tercipta ialah legitimasi budaya patriarki dan dialektika kekerasan gender.

DAFTAR REFERENSI



El-Saadawi, Nawal. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: Mandar Utama Tiga Books
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Rohan, Collier. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sen, K. Dan Hill, D.T. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi

Arsip Internet
Dayanti, Liestianingsih Dwi. Potret Kekerasan Gender Dalam Sinetron Komedi. Terarsip pada www.journal.unair.ac.id/filerPDF/POTRET%20KEKERASAN%20GENDER%20DALAM.pdf






[1] Rachmad (Mulyana, Deddy dan Idi Subandy Ibrahim, 1997: 235) mengatakan bahwa lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, pemirsa diarahkan untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Orang bertindak dan mengambil keputusan tidak berdasarkan realitas, tetapi berdasar makna yang diberikan kepada realitas.







[2] McLuhan dalam Labib (2002: 14) menganggap televisi merupakan media baru yang mampu melakukan proses penggantian terhadap realitas.


Lanjutkan...