REPRESENTASI GENDER DALAM LIRIK THEME SONG SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


Aroma doktrin gender dalam budaya patriarki sudah tercium melalui lagu pembuka sinetron. Lirik dalam lagu sound track ini penuh dengan nuansa marjinalisasi gender. Perhatikan lirik berikut:


Begini begitu; Kesini kesitu; Manggut-mangut melulu;
Selalu mau; Kok ya mau
Dicaci-dimaki; Kata sang istri; Selalu nunduk-nunduk
Tapi hati mengkerut; Kaya kerupuk
Begini salah-begitu salah; Kata sang istri; Semua salah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Kasian banget deh loe...)
Begini salah-begitu salah; Dasar sang istri; Yang gak mau kalah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Makanya jangan macam-macam sama perempuan...)


Diawal lirik, tampak penguatan terhadap adannya sterotip gender terhadap wanita. Lihat pada baris pertama lagu diatas.

Dicaci-dimaki...Kata sang istri...Selalu nunduk-nunduk...Tapi hati mengkerut...Kaya kerupuk...Begini salah-begitu salah...Kata sang istri...Semua salah...


Dalam lirik ini direpresentasikan adanya sterotyping bahwa seorang wanita memiliki otoriterisme terhadap cacian dan makian. Wanita dianggap sebagai makhluk yang non-altruistik. Kaum feminis juga dianggap memiliki egosentris yang sangat besar terutama terhadap kaum pria (dalam sitkom tersebut). Terlihat dari kalimat Begini salah begitu salah, kata sang istri semua salah. Egoisme wanita yang dikonstruksikan secara berlebihan (terlepas dari dekonstuksi oleh khalayak) memberikan nilai-nilai propagandis terhadap audiencenya terutama kaum maskulin. Ketika mendapatkan caci dan makian wanita, kaum maskulin yang sabar dianggap memiliki hati dan mental yang lemah (melempem). Seharusnya (menurut budaya patriarki) kaum maskulis harus bersikap tegas, keras bahkan (mungkin) kasar jika menghadapi dominasi kaum feminis. Perhatikan pada lirik reff berikut:

Takut.. takut.. takut Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt Ciut.. ciut ciut Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt


Dari semiotika sepenggal lirik yang diusung dalam sinetron ini, kalimat dalam lirik diatas memiliki multi-intepretasi dalam pemaknaannya. (1) Bahwa seorang suami seharusnya tidak takut dengan istri, mereka harus mampu memberikan kasih sayang dan nafkah pada istri (2) Seorang suami seharusnya tidak takut pada sang istri karena suami yang takut dengan istri adalah seorang pengecut (nyalinya ciut). Intepretasi kedua ini lah yang kemudian pada dasarnya melegitimasikan dominasi budaya partiarki dalam realitas sosial masyarakat yang diintepretasikan melalui sinetron.

Ideologi patriarki sebagai suatu istilah dari psikoanalisis the law of the father, yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita Budaya patriarki tersebut menganggap bahwa kaum maskulis adalah kaum yang lebih dominan dalam segala hal termasuk urusan rumah tangga. Sedangkan wanita dipandang layaknya seseorang yang selalu dikontrol oleh pria. Ketika kontrol tersebut terlepas maka pihak pria lah yang dianggap lemah, bukan pria yang sesungguhnya karena tidak mampu menjaga wanita untuk tetap berada dibawah.

Posisi wanita dalam lirik ini tidak dipandang sebagai sebuah kesetaraan gender yang menganggap fungsi dan kedudukannya sama dengan pria tetapi lebih sebagai pemicu (integer) bagi olok-olokan yang ditujukan kepada para pria. Ideologi bahwa wanita seharusnya adalah objek bagi kaum pria baik sebagai objek seksual, dominasi lingkungan domestik, fungsi ekonomi diperkuat melalui lirik ini. Apakah ketika wanita sedikit mulai keluar dari subordinasinya maka hal tersebut merupakan penyalahan kodrat ? Ideologi dalam lirik ini mencitrakan ketika inferioritas kaum wanita menjadi berkurang maka seharusnya para pria (suami) harus kembali menekannya kedalam kultur patriarki mereka. Kurang lebih lirik tersebut ingin mempropagandakan para pria bahwa wanita termasuk istri merupakan makhluk yang harus tersubordinasi oleh pria sehingga jangan biarkan mereka mampu naik kelas. Jika hal tersebut terjadi maka seorang pria dianggap tidak memiliki keberanian (nyali).

Doktinasi dan pekatnya kekerasan gender begitu mendominasi dalam sitkom ini. Budaya-budaya yang dianggap sebagai salah satu wujud perjuangan kaum feminis, direkonstruksikan sedemikian rupa sehingga tak ayal malah melenceng dari idealisme semula. Masih pekatnya nilai-nilai patriarkis pada pengelola media massa merupakan cerminan dari kuatnya hegemoni ideologi dunia kapalis dunia industri hiburan (entertaintment). Televisi memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyaralat. Melalui interaksi simbolik, konstruksi sosial kadanga mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahami eksistensi materi dari yang disadari. Hegemoni media dilakukan melalui mekanisme tertentu untuk membentuk pemikiran media (agenda media) sebagai katalisator agenda setting dalam masyarakat.

Menurut Muh. Labib (2002) dalam bukunya Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial yang diterbikan olehMU:3 Books jakarta, bentuk kekuatan hegemoni industri adalah kemampuan menciptakan citra-citra baru dan menghapus citra-citra lama (Gregt T. Gothald menyebutnya sebagai ikonoklame). Penciptaan tersebut menghasilkan perubahan persepsi dan image masyarakat tentang sesuatu. Kodifikasi terhadap simbol-simbol propaganda yang dipetakan oleh sitkom ini (melalui liriknya) menghasilkan konsepsi budaya patriarki yang sistemik terutama terhadap kaum maskulis untuk selalu mengontrol (mental dan fisik) dari kaum feminis. Bukan lagi berada pada ranah perjuangan kaum feminis dalam mencapai kesetaraan gender.

0 komentar: