DIALEKTIKA KEKERASAN GENDER DALAM SITKOM SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


McQuail (1989) dalam Dayanti menyebutkan media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma perilaku. Dalam hal ini media televisi lah yang membawa pengaruh pesan yang lebih efektif dibanding media massa lainya. Kekuatan utama dari televisi ialah format audio-visual yang mentransmisikan pesan kepada khalayak. Dengan keadaan ini maka media penyiaran memiliki pengaruh cukup kuat dalam penyebaran nilai dan ideologi tertentu.

Bungin dalam Labib (2002: 3) mengatakan media memiliki kekuatan besar untuk memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya melalui replika citra ke dalam realitas sosial yang baru dalam masyarakat. Jalaluddin Rachmad menyebut realitas televisi sebagai realitas tangan kedua (second hand reality)[1]sedangkan Marshal McLuhan menggunakan istilah “rearview mirrorism”[2]. Sen dan Hill (2001) berpendapat media massa memberikan representasi yang yang paling besar terhadap realitas sosial dalam masyarakat.

Sejalan dengan tumbuh kembang realitas sosial yang direkonstruksikan dalam media massa, tidak melepaskan persoalan gender didalamnya. Mulai dari industri periklanan yang seringkali menempatkan wanita sebagai objek strerotip gender. Lihat pada iklan rokok Gudang Garam dengan slogannya: “Pria Punya Selera”. Dari iklan tersebut, terlihat sebuah reduksi dimana pria adalah makhluk superior bila dibandingkan dengan wanita, oleh karena itu kedudukan pria lebih tinggi dari wanita. Konsep yang serupa juga diaplikasikan pada berbagai produk media penyiaran salah satunya sinetron.

Sinetron merupakan salah satu genre yang mendominasi industri media massa di Indonesia. Sinema Elektronik merupakan tayangan dengan menggunakan konsepsi film cerita yang kemudian dibawa kedalam format industri layar kaca (Labib, 2002: 1). Tidak berbeda dengan film, sinetron dalam menggambarkan wanita penuh dengan hiper-realitas yakni dipenuhi dengan nilai-nilai konsumerisme, seksualitas, dan stereotip gender (Suryandaru, 2002 dalam Dayanti).

Harapan akan hilangnya kekerasan terhadap wanita (dalam sinetron khususnya) rasanya ingin diwujudkan oleh Sitkom (sinetron) Suami-Suami Takut Istri. Sinetron ini mencoba menangkap kehidupan kelas menengah di Jakarta dengan sudut pandang yang berbeda. Pada permasalahan gender dalam media massa khususnya, wanita sering direpresentasikan sebagai subjek yang melakukan tindakan kekerasan sekaligus korban dari tindakan kekerasan tersebut. Budaya patriarki yang notabene ingin digusur oleh sineton tersebut, realitasnya semakin memantapkan representasi dominasi gender maskulin. Para suami yang dijadikan “korban” gender secara dialektis dibingkai menjadi pelaku (subjek) dari kekerasan gender itu sendiri.

Dialektika kekerasan gender dalam Suami-Suami Takut Istri terlihat sangat jelas melalui jalinan cerita yang memanfaatkan tokoh para suami dan para istri. Para istri dan suami secara dialektis ditempatkan sebagai subjek (pelaku) kekerasan gender sekaligus objek (korban) dari kekerasan gender. Para istri dipandang sebagai pelaku kekerasan gender secara fisik dengan menciptakan dominasi dan otoriterisme dalam lingkungan keluarga ketika mendapat kekuasaan. Kekuasaan tersebut didapatkan melalui kemampuan finansial (tokoh Deswita), kecantikan (tokoh Sheila), kewanitaan (keluguan dan kepolosan tokoh Welas) serta fisik yang besar (tokoh Sarmila/Bu RT). Kekerasan secara fisik yang menempatkan para istri sebagai subjek kekerasan gender ternyata menimbulkan dialektika terhadap kekerasan itu sendiri.

Walaupun para istri berada pada posisi yang dominan terhadap suami-suami mereka dengan cara mengontrol segala tingkah-laku, kegiatan bahkan keuangan. Tetapi hal ini direpresentasikan dengan karakter yang menganut ideologi skeptis tentang wanita. Stigma negatif bahwa wanita hanya mampu menggunakan “kewanitaannya” dan “kecantikannya” untuk memaksa suami pasrah menuruti segala keinginannya. Berbagai scene dan dialog antara pasangan Tigor-Welas dan Sheila-Karyo merepresentasikan hal ini.

Ketika Tigor berusaha untuk “merayu” Pretty atau melakukan kesalahan maka merengek dijadikan “senjata utama” bagi Welas untuk membawa Tigor kembali berada dalam kontrolnya. Begitu juga kecantikan Sheila yang selalu dipresentasikan lebih unggul dibanding Karyo, akan selalu membuat Karyo menuruti perintah istrinya. Karyo menerima segala makian, ejekan, olok-olok, perlakuan kasar istrinya hanya karena menganggap dia telah “kalah” secara fisik. Kecantikan dan keluguan dipandang hanya sebagai alat yang digunakan untuk mengontrol pria.

Dialektika lain pada sang istri, terdapat pada karakter Deswita dan Sarmila (Bu RT). Kedua karakter ini direpresentasikan mendominasi suaminya (wanita sebagai subjek kekerasan gender) dengan memanfaatkan stigma kekuatan finansial dan fisik (wanita sebagai objek kekerasan gender). Dengan membawa kultur ekonomi (finansial), bahwa ketika Deswita memiliki penghasilan yang lebih maka ia memiliki hak untuk menguasai suaminya. Terkadang dipandang sebagai “balas dendam” terhadap kultur patriakis dalam masyarakat. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita. Kembali ke persoalan Deswita, sayangnya kontrol kaum feminis ini bergerak terlampau jauh dan berlebihan terutama masalah keuangan. Untuk pengeluaran pun Faisal harus meminta uang pada Deswita. Representasi kekerasan gender terhadap wanita yang terbentuk ialah dengan kemampuan secara finansial maka segala kontrol rumah tangga dipegang oleh wanita yang membawanya kembali pada budaya patriarki tradisional (pandangan bahwa wanita lebih cermat mengurus keuangan/rumah tangga dibanding pria).

Sedangkan karakter yang dibawa oleh Sarmila (Bu RT), secara konsisten melakukan dominasi terhadap seluruh warga dilingkungan dengan memanfaatkan fisik yang besar. Hal ini merepresentasikan stigma bahwa wanita yang bertubuh besar akan mampu memaksa (secara kasar) orang lain untuk menuruti keinginannya. Dari keseluruhan representasi istri yang dibentuk oleh sitkom ini, mencitrakan bahwa wanita selain digambarkan sebagai subjek kekerasan maka sebernarnya ia adalah objek kekerasan gender dari kultur masyarakat yang diangkat media massa. Sekaligus melegitimasi stereotip wanita yang memiliki kekuatan (kecantikan, kewanitaan, fisik dan finansial) maka mereka menjadi sangat otoriter.

Pada karakter suami, dialektika yang terjadi ialah pria dijadikan objek kekerasan gender (oleh wanita) sekaligus subjek/pelaku kekerasan gender terhadap wanita. Melalui karakter-karakter suami, digambarkan bahwa pria yang tidak dominan adalah pria pengecut yang selalu ditindas oleh istrinya (cermati lirik lagu OST sitkom ini). Tindakan kekerasan fisik digambarkan secara eksplisit oleh sitkom ini sehingga memposisikan kaum pria sebagai korban kekerasan. Dimana Karyo dicubit perutnya, Faisal dijambak rambutnya, Sarmili dikurung dalam kamar mandi dan Tigor dengan pantomim. Kondisi ini memberikan representasi bahwa pria yang lemah ialah orang yang selalu dipermainkan oleh wanita.

Posisi objek (korban) ini berubah menjadi subjek (pelaku) ketika karakter suami bertemu dengan tokoh Pretty. Mereka menjadikan tokoh Pretty ini sebagai objek seksual yang tetap bisa “dinikmati” walaupun mereka telah berkeluarga (dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap karakter wanita). Menurut Rohan (1998: 4), perilaku pelecehan termasuk (1) gerakan fisik misalnya rabaan, cubitan, tindakan intimidasi atau yang memalukan (kerlingan, siulan, tingkah tidak senonoh), rayuan seks badani dan serangan seksual. (2) Tingkah laku yang berupa ucapan seperti pernyataan yang dirasa sebagai penghinaan, lelucon yang bersifat menghina. (3) Bahasa yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal (4). Hal-hal yang menyinggung misalnya gambar-gambar porno, lambang dan lukisan grafis.

Sedangkan survey Alvred Marks (1991) menemukan bentuk pelecehan paling umum adalah rabaan/tepukan, ucapan atau gurauan seksual secara teratur, dilihat dari atas kebawah dan pandangan cabul pada bagian tubuh (Rohan, 1998: 9). El-Saadawi (2001: xxvi) dalam bukunya “Perempuan Dalam Budaya Patriarki” menganggap hak-hak seksual seperti yang dipraktekkan masyarakat barat tidaklah memberikan kemerdekaan kepada wanita, malah mengakibatkan bertambahnya penindasan karena wanita diubah menjadi tubuh-tubuh komersil serta peningkatan laba kapitalis. Hal ini mengukuhkan idealisme patriarki yang memandang bahwa maskulin akan selalu berada diatas feminim dalam keadaan apapun. Walaupun adanya dominasi kaum feminim, tetapi pria akan selalu mampu mencari celah untuk menjadikan wanita sebagai objek bagi mereka.

Sebenarnya penggambaran wanita yang dominan dan “kuat” kebanyakan justru menempatkan wanita itu sendiri sebagai objek olok-olok. Kekuatan yang diperlihatkan biasanya justru hal-hal yang hanya menampilkan “kekuatan” secara superfisial seperti ambisius, suka menang sendiri, sok-pintar, suka intrik. Hal ini tentu mereduksi konsep kesetaraan gender, diganti dengan skeptis yang dikonstruksikan oleh budaya patriarki. Perlakuan dan dominasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh wanita dewasa, bahkan anak-anak (wanita) direpresentasikan memanfaatkan dominasi ibunya untuk menekan dan melakukan kekerasan terhadap pria. Idealisme kesetaraan gender yang mencoba diangkat melalui sitkom ini notabene hanya berubah menjadi dialektika kekerasan gender dan memperteguh ideologi budaya patriarki tradisional dalam media massa. Kentalnya budaya patriarki yang menyelimuti cara pandang pengelola media nyatanya tidak membawa kearah kesetaraan gender dalam Suami-Suami Takut Istri, yang tercipta ialah legitimasi budaya patriarki dan dialektika kekerasan gender.

DAFTAR REFERENSI



El-Saadawi, Nawal. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: Mandar Utama Tiga Books
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Rohan, Collier. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sen, K. Dan Hill, D.T. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi

Arsip Internet
Dayanti, Liestianingsih Dwi. Potret Kekerasan Gender Dalam Sinetron Komedi. Terarsip pada www.journal.unair.ac.id/filerPDF/POTRET%20KEKERASAN%20GENDER%20DALAM.pdf






[1] Rachmad (Mulyana, Deddy dan Idi Subandy Ibrahim, 1997: 235) mengatakan bahwa lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, pemirsa diarahkan untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Orang bertindak dan mengambil keputusan tidak berdasarkan realitas, tetapi berdasar makna yang diberikan kepada realitas.







[2] McLuhan dalam Labib (2002: 14) menganggap televisi merupakan media baru yang mampu melakukan proses penggantian terhadap realitas.


Lanjutkan...

PONSEL DALAM PUBLIC SPHERE


McLuhan dalam Laurer (1989: 206) menyatakan bahwa setiap teknologi, secara bertahap menciptakan lingkungan kehidupan manusia yang sama sekali baru. Menurut pandangan ini, teknologi adalah kekuatan yang besar dan tidak dapat terbendung pengaruhnya pada perubahan. Dalam kaitannya dengan pubik sphere, perkembangan teknologi komunikasi terutama handphone selain membawa perubahan, turut serta menciptakan berbagai macam problematika tersendiri. Mengutip pendapat Denis Goulet,

“teknologisasi yang terjadi di dunia ketiga adalah ibarat pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai. Sebagai pembawa nilai-nilai borjuis-kapitalis barat yang rasionalistik, individualistik, postifistik, tetapi juga sekaligus penghancur nilai budaya lokal dan religius-asketis, fatalis serta memegang teguh prinsip collective colegia” (Arif dalam Abrar, 2003: 2)

Salah satu permasalahan krusial dalam pengadopsian teknologi komunikasi tersebut ialah produk budaya yang dihasilkan oleh salah satu layanan handphone bias dalam ranah publik.Walaupun seyogyanya masyarakat menggunakan handphone sebagai alat untuk menambah kemampuan orang dan berkomunikasi. Tetapi nilai imperalis dan kapitalis barat telah memaksakan penggunanya untuk merealisasikan budaya tersebut dalam ranah publik. Tengok problematika yang dihadapi oleh publik dengan kasus di Selandia Baru. Mengutip sebuah artikel yang diambil dari Kompas,(2007)

“Siswa sekolah menengah atas (SMA) di Selandia Baru akan diizinkan memakai bahasa seperti yang biasa dipakai dalam pesan singkat telepon seluler (SMS). Para pejabat pendidikan negeri kiwi itu, Jumat lalu, mengatakan, bahasa tulis ala SMS bahkan bakal diizinkan dipakai dalam ujian akhir nasional (UAN) tahun ini...”

Euforia terhadap hadirnya budaya populer yang dibawa oleh layanan handphone kemudian membentuk idealisme globalisasi atau mungkin adanya tekanan dari pihak yang lebih kuat dari pemerintah (baca: kapitalis internasional) yang menyebabkan hal tersebut. Budaya global yang tidak terlalu signifikan bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat ternyata secara sukses melakukan penetrasi kedalam lingkungan public sphere tepatnya ranah pendidikan. Apakah hal ini merupakan bentuk neo-imperialisme dan komersialisasi pendidikan di Selandia Baru ? Tak pelak lagi bahwa hukum dan proses legal memang merupakan bumbu esensial dari (Gramsian) hegemoni. (Latif & Ibrahim, 1996: 34).

Perubahan bentuk komunikasi melalui handphone pun tidak lagi dapat terelakan. Memasuki era dimana dunia media massa dan teknologi komunikasi informasi diintegrasikan kedalam sebuah jaringan virtual, komunikasi melalui handphone tidak lagi berbentuk komunikasi interpersonal (komunikasi bermedia). Komunikasi dengan media handphone mulai merambah dalam bentuk komunikasi massa. Hal ini sangat terbukti dengan hadirnya fasilitas teknologi informasi dalam industri media massa yang memungkinkan menampilkan pesan interpersonal handphone kedalam medianya. Tidak terkait dengan implikasi negatif ataupun positif yang menjangkiti kondisi tersebut, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa teknologi komunikasi mulai “dipersiapkan” bermeatamorfosis menjadi teknologi yang berbentuk lebih masif.

Problematika dari pergeseran ranah teknologi komunikasi (khususnya handphone) menjadi lebih masif semakin memperkeruh bias pemakaian handphone dalam publik ataupun private sphere. Seringkali seseorang mendapatkan SMS yang bersifat broadband[1] dari institusi tertentu yang notabene mengganggu lingkup privat seseorang. Kehadiran iklan, layanan serta informasi yang dianggap tidak signifikan kepada komunikan secara stimulan merupakan indikator biasnya ranah private dan publik yang dimiliki oleh handphone. Seharusnya bentuk komunikasi persona dalam handphone membawa pesan-pesan yang lebih bernuansa persona tetapi dunia kapitalis membawa pesan tersebut kearah konsep komunikasi massa. Komunikasi dimana membawa adanya komunikan secara masif sebagai acuan dianggap merupakan salah satu ruang publik bagi masyarakat. Siregar dalam makalahnya “Jurnalisme, Publiksphere dan Etika: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme” memandang, secara ideal ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal/ individu, yang bersih / terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi kehidupan publik adalah pada kehidupan warga masyarakat, dalam proses interaksi personal atas dasar kultural.

Dengan hadirnya entitas layanan massal handphone bagi konsumennya, mencitrakan user dari teknologi komunikasi (handphone) telah digiring menuju konsep ruang publik dalam lingkup kekuatan kapitalisme pasar (market capitalism). Dalam menghadapi kekuasaan kapitalisme pasar, warga masyarakat sebagai konsumen, yang dicerminkan dari nilai ekonomis warga bagi produsen dalam konteks kapitalisme (Siregar). Dengan memaksakan konsepsi sebagai konsumen dan produsen jasa, industri seluler telah mengaburkan bentuk dari komunikasi yang ditambatkan dalam teknologi komunikasi sebagai komunikasi bermedia dan interpersonal.

Menurut Evertt M. Rogers, pesan yang dibawa teknologi komunikasi adalah mendidik pemakaiannya untuk melakukan demassifikasi. Berdasarkan kata “de” yang berarti menegasikan masiffikasi, artinya pesan yang dibawa oleh teknologi komunikasi harus bersifat tidak massal (personal). Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak dimana mereka dapat berhubungan dengan siapapun yang mereka kehendaki bahkan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan mereka (Abrar, 2003: 9). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsep media massa dimana kontrol pesan dilakukan oleh produsen pesan. Khalayak dipandang secara pasif hanya sebagai objek penerima pesan. Konsepsi seperti inilah yang sebenarnya membingkai hegemoni kapitalis industri seluler dalam pembiasan antara bentuk komunikasi interpersonal (private sphere) dan komunikasi massa (publik sphere) melalui teknologi komunikasi dalam handphone.

Sejarah telah mengajarkan bahwa perkembangan teknologi sering menimbulkan masalah baru. Malahan teknologi baru yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan teknologi sebelumnya, juga menimbulkan masalah baru (Lubis, 1985: 86). Mengutip pendapat Abrar (2003: 2), walaupun handphone menciptakan gaya serta tingkah laku kapitalis yang profit oriented dan mengamalkan budaya konsumtif. Walaupun handphone menjadikan penggunanya memiliki ideologi baru dalam konteks intelektualitas dan moralitas. Tetapi, itu memang harga yang harus dibayar untuk teknologisasi.


DAFTAR REFERENSI



Abrar, Ana Nadya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor: Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim. Mizan: Bandung.
Laurer, Robert H. 1989. Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta.
Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Jakarta: Inti Idayu Pers.

Arsip Internet
Siregar, Ashadi. JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme. Terarsip pada http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf
Kompas. 2007. Terarsip pada href="http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm">http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm






[1] Teknologi informasi dengan pengiriman data secara massal kebeberapa receiver secara serempak. Dalam ponsel teknologi ini digunakan operator untuk “berkomunikasi” dengan beberapa pelanggan dalam satu tempo waktu.


Lanjutkan...