PONSEL DALAM PUBLIC SPHERE


McLuhan dalam Laurer (1989: 206) menyatakan bahwa setiap teknologi, secara bertahap menciptakan lingkungan kehidupan manusia yang sama sekali baru. Menurut pandangan ini, teknologi adalah kekuatan yang besar dan tidak dapat terbendung pengaruhnya pada perubahan. Dalam kaitannya dengan pubik sphere, perkembangan teknologi komunikasi terutama handphone selain membawa perubahan, turut serta menciptakan berbagai macam problematika tersendiri. Mengutip pendapat Denis Goulet,

“teknologisasi yang terjadi di dunia ketiga adalah ibarat pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai. Sebagai pembawa nilai-nilai borjuis-kapitalis barat yang rasionalistik, individualistik, postifistik, tetapi juga sekaligus penghancur nilai budaya lokal dan religius-asketis, fatalis serta memegang teguh prinsip collective colegia” (Arif dalam Abrar, 2003: 2)

Salah satu permasalahan krusial dalam pengadopsian teknologi komunikasi tersebut ialah produk budaya yang dihasilkan oleh salah satu layanan handphone bias dalam ranah publik.Walaupun seyogyanya masyarakat menggunakan handphone sebagai alat untuk menambah kemampuan orang dan berkomunikasi. Tetapi nilai imperalis dan kapitalis barat telah memaksakan penggunanya untuk merealisasikan budaya tersebut dalam ranah publik. Tengok problematika yang dihadapi oleh publik dengan kasus di Selandia Baru. Mengutip sebuah artikel yang diambil dari Kompas,(2007)

“Siswa sekolah menengah atas (SMA) di Selandia Baru akan diizinkan memakai bahasa seperti yang biasa dipakai dalam pesan singkat telepon seluler (SMS). Para pejabat pendidikan negeri kiwi itu, Jumat lalu, mengatakan, bahasa tulis ala SMS bahkan bakal diizinkan dipakai dalam ujian akhir nasional (UAN) tahun ini...”

Euforia terhadap hadirnya budaya populer yang dibawa oleh layanan handphone kemudian membentuk idealisme globalisasi atau mungkin adanya tekanan dari pihak yang lebih kuat dari pemerintah (baca: kapitalis internasional) yang menyebabkan hal tersebut. Budaya global yang tidak terlalu signifikan bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat ternyata secara sukses melakukan penetrasi kedalam lingkungan public sphere tepatnya ranah pendidikan. Apakah hal ini merupakan bentuk neo-imperialisme dan komersialisasi pendidikan di Selandia Baru ? Tak pelak lagi bahwa hukum dan proses legal memang merupakan bumbu esensial dari (Gramsian) hegemoni. (Latif & Ibrahim, 1996: 34).

Perubahan bentuk komunikasi melalui handphone pun tidak lagi dapat terelakan. Memasuki era dimana dunia media massa dan teknologi komunikasi informasi diintegrasikan kedalam sebuah jaringan virtual, komunikasi melalui handphone tidak lagi berbentuk komunikasi interpersonal (komunikasi bermedia). Komunikasi dengan media handphone mulai merambah dalam bentuk komunikasi massa. Hal ini sangat terbukti dengan hadirnya fasilitas teknologi informasi dalam industri media massa yang memungkinkan menampilkan pesan interpersonal handphone kedalam medianya. Tidak terkait dengan implikasi negatif ataupun positif yang menjangkiti kondisi tersebut, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa teknologi komunikasi mulai “dipersiapkan” bermeatamorfosis menjadi teknologi yang berbentuk lebih masif.

Problematika dari pergeseran ranah teknologi komunikasi (khususnya handphone) menjadi lebih masif semakin memperkeruh bias pemakaian handphone dalam publik ataupun private sphere. Seringkali seseorang mendapatkan SMS yang bersifat broadband[1] dari institusi tertentu yang notabene mengganggu lingkup privat seseorang. Kehadiran iklan, layanan serta informasi yang dianggap tidak signifikan kepada komunikan secara stimulan merupakan indikator biasnya ranah private dan publik yang dimiliki oleh handphone. Seharusnya bentuk komunikasi persona dalam handphone membawa pesan-pesan yang lebih bernuansa persona tetapi dunia kapitalis membawa pesan tersebut kearah konsep komunikasi massa. Komunikasi dimana membawa adanya komunikan secara masif sebagai acuan dianggap merupakan salah satu ruang publik bagi masyarakat. Siregar dalam makalahnya “Jurnalisme, Publiksphere dan Etika: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme” memandang, secara ideal ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal/ individu, yang bersih / terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi kehidupan publik adalah pada kehidupan warga masyarakat, dalam proses interaksi personal atas dasar kultural.

Dengan hadirnya entitas layanan massal handphone bagi konsumennya, mencitrakan user dari teknologi komunikasi (handphone) telah digiring menuju konsep ruang publik dalam lingkup kekuatan kapitalisme pasar (market capitalism). Dalam menghadapi kekuasaan kapitalisme pasar, warga masyarakat sebagai konsumen, yang dicerminkan dari nilai ekonomis warga bagi produsen dalam konteks kapitalisme (Siregar). Dengan memaksakan konsepsi sebagai konsumen dan produsen jasa, industri seluler telah mengaburkan bentuk dari komunikasi yang ditambatkan dalam teknologi komunikasi sebagai komunikasi bermedia dan interpersonal.

Menurut Evertt M. Rogers, pesan yang dibawa teknologi komunikasi adalah mendidik pemakaiannya untuk melakukan demassifikasi. Berdasarkan kata “de” yang berarti menegasikan masiffikasi, artinya pesan yang dibawa oleh teknologi komunikasi harus bersifat tidak massal (personal). Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak dimana mereka dapat berhubungan dengan siapapun yang mereka kehendaki bahkan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan mereka (Abrar, 2003: 9). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsep media massa dimana kontrol pesan dilakukan oleh produsen pesan. Khalayak dipandang secara pasif hanya sebagai objek penerima pesan. Konsepsi seperti inilah yang sebenarnya membingkai hegemoni kapitalis industri seluler dalam pembiasan antara bentuk komunikasi interpersonal (private sphere) dan komunikasi massa (publik sphere) melalui teknologi komunikasi dalam handphone.

Sejarah telah mengajarkan bahwa perkembangan teknologi sering menimbulkan masalah baru. Malahan teknologi baru yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan teknologi sebelumnya, juga menimbulkan masalah baru (Lubis, 1985: 86). Mengutip pendapat Abrar (2003: 2), walaupun handphone menciptakan gaya serta tingkah laku kapitalis yang profit oriented dan mengamalkan budaya konsumtif. Walaupun handphone menjadikan penggunanya memiliki ideologi baru dalam konteks intelektualitas dan moralitas. Tetapi, itu memang harga yang harus dibayar untuk teknologisasi.


DAFTAR REFERENSI



Abrar, Ana Nadya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor: Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim. Mizan: Bandung.
Laurer, Robert H. 1989. Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta.
Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Jakarta: Inti Idayu Pers.

Arsip Internet
Siregar, Ashadi. JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme. Terarsip pada http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf
Kompas. 2007. Terarsip pada href="http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm">http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm






[1] Teknologi informasi dengan pengiriman data secara massal kebeberapa receiver secara serempak. Dalam ponsel teknologi ini digunakan operator untuk “berkomunikasi” dengan beberapa pelanggan dalam satu tempo waktu.


0 komentar: