DEFINING SOSIAL MARKETING

Kotler (2002) menawarkan definisi dari social marketing (Kotler, 2002: 5) :

Social marketing merupakan penggunaan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran dalam mempengaruhi target audience agar secara suka rela menerima (accept), menolak (reject), merubah (modify) dan meninggalkan (abandon) sebuah perilaku demi keuntungan individu, kelompok serta masyarakat sebagai sebuah kesatuan.


Poin penting dari social marketing adalah (Kotler, 2002: 5).
(1) Suka rela (tidak ada hegemoni/kapitalis yang memaksakan)
Salah satu tantangan terbesar dari pelaksanaan social marketing adalah perubahan perilaku secara suka rela.

(2) penerimaan, penolakan, perubahan dan meninggalkan perilaku
Agen perubahan (social marketer) berharap target audience melakukan satu dari empat hal (a) menerima perilaku yang baru (b) menolak perilaku lain yang potensial (c) merubah perilaku sebelumnya (d) meninggalkan perilaku yang lama dilakukan.

(3) keuntungan berada pada individu, kelompok atau masyarakat
Tidak seperti sektor pemasaran komersil, dimana keuntungan utama diraih oleh korporasi atau pemegang kuasa (stake holder). Keuntungan dalam konsep social marketing ditujukan pada individu, kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan.

(4) Berbeda dengan pemasaran sektor komersil yang menjual barang dan jasa, social marketer menjual perubahan perilaku. Perbedaan dengan sektor pemasaran komersil (2002: 10):
a. Produk
Produk yang dijual pada sosial marketing berupaya menjual perubahan perilaku sedangkan commericial marketing produk utamanya menjual barang dan jasa secara.
b. Tujuan
Dalam sektor commercial marketing, tujuan utamanya ialah peningkatan finansial bagi marketer. Pada sosial marketing bertujuan peningkatan individu atau sosial.
c. Kompetitor
Secara teknis keduanya memiliki kompetitor. Hanya pada commercial marketing kompetitornya ialah organisasi lain yang menawarkan barang dan jasa yang sama sedang social marketing lebih kepada perilaku sebelumnya (yang ingin diubah) ataupun perilaku lain yang lebih disukai. Kemudian adanya perasaan "senang" dan keuntungan melakukan "perilaku" sebelumnya.
d. Segmentasi
Segementasi pada commercial marketing lebih terarah pada Kelompok/individu yang mampu meningkatkan penjualan produk. Sosial marketing berfokus pada Kelompok/individu yang dipandang memiliki permasalahan secara sosial.

Persamaan dari kedua konsep pemasaran tersebut ialah (1) berorientasi pada konsumen, (2) berpondasi pada teori pertukaran (exchange theory), (3) penggunaan riset pemasaran, (4) segmentasi audience, (5) terfokus pada integrasi marketing mix (4P). Social marketer menggunakan 4 alat utama dalam marketing (4P) untuk mempengaruhi target pasar yaitu: Product, Place, Promotion dan Price atau lebih dikenal dengan Marketing Mix. (Kotler, 2002: 7). (6) pengukuran hasil yang digunakan sebagai peningkatan (follow up).

Garis besar pelaksanaan social marketing berada pada 4 lingkup.

1. Peningkatan kesehatan,
Ex: penggunaan tembako (1 diantara 4 orang dewasa diatas 18 merokok), kanker payudara (lebih dari 20% wanita usia 50 tahun keatas terinfeksi kanker payudara), kesehatan mulut (anak sekolah diatas usia 9 tahun bermasalah dengan gigi)

2. Keselamatan (injury prevention),
Ex: mabuk dan mengemudi (16.068 kematian diakibatkan pengemudi yang mabuk), Pelecehan seksual (8% gadis SMA berkata ya ketika ditanyakan apakah pacar pernah memaksakan hubungan seksual diluar kemauan),

3. Perlindungan lingkungan
Ex: hujan asam (di Asia, emisi sulfur dioksida meningkat tiga kali lipat pada tahun 2010), pengurangan sampah (tahun 1999 dari 374.631.000 ton samapah hanya 31% yang didaur ulang).

4. Keterlibatan Komunitas/masyarakat,
Ex: Donasi organ (tahun 2001, lebih dari 75.000 pasien menunggu untuk donor organ), donor darah (kurang dari 5% masyarakat Amerika yang sehat besedia mendonorkan darah tiap tahun), Pelanggaran hak cipta (masyarakat indonesia masih banyak yang menggunakan sistem operasi illegal/bajakan)

Dalam berbagai kasus, prinsip dan teknik social marketing dilakukan oleh mereka yang berada dalam garis depan dalam kesejahteraan publik. Tetapi secara struktur dapat dikategorikan menjadi 4 (Kotler, 2002:12-13) :

1.Pekerja profesional untuk agen pemerintah dan organisasi (contoh: departemen kesehatan, rumah sakit).
2.Pekerja profesional untuk organisasi non-profit, asosiasi dan yayasan (contoh: Green peace dan berbagai LSM).
3.Pekerja profesional untuk organisasi komersil dalam posisinya sebagai tanggungjawab sosial perusahaan ataupun hubungan dengan komunitas yang akan membantu pengimplementasian social marketing
4.Selain 3 pemain utama tersebut terdapat klompok lain yang membantu dalam pelaksanaan kampanya social marketing. (contoh: agensi periklanan, PR dan agensi riset pemasaran.

Marketing tidak hanya satu-satunya jalan dalam mempengaruhi atau merubah perilaku publik. Selain konsepsi marketing hal lain yang mampu melaksanakan proses tersebut adalah (Kotler 2002: 17-19):

1.Teknologi,
Terkadang inovasi teknologi ataupun peralatan tambahan lain mampu mendukung perubahan perilaku ataupun memberikan kontribusi signifikan terhadap isu sosial. Ex: beberapa mobil memiliki sabuk pengaman otomatis yang dipakai penumpang ketika pintu ditutup, beberapa sistem opearasi yang menolak (mencegah) adanya fungsi copy disk (sistem pada bluray)

2.Ekonomi,
Perilaku seringkali berubah akibat adanya tekanan ekonomi yang intensif. Ex: peningkatan pajak rokok, penggunaan sistem operasi open source dalam berbagai perusahaan.

3.Legalisasi/Politis/Pembuatan Kebijakan,
Terkadang jika semuanya gagal, hukum harus berfungsi lebih ketat. Ex: pada beberapa negara rooler coster hanya diperuntukkan pada anak diatas 8 tahun dan berat 80 pounds, pengesahan undang-undang hak cipta serta pemberian hukuman yang tegas terhadap pelanggaran hak cipta.

4.Pendidikan,
Walaupun garis antara social marketing dengan pendidikan sejalan, sirngkali dilihat bahwa pendidikan merupaan alat utama bagi sosial marketer tapi tidak dapat bekerja sendiri. Sering kali pendidikan digunakan untuk mengkomunikasikan informasi dan menciptakan kemampuan, tapi tidak memberikan atansi yang sama dalam perubahan perilaku. Biasanya hanya bergerak pada 1 alat marketing yaitu promosi. Ex : Informasi penyebaran AIDS, Informasi terhadap penggunaan sistem operasi berbasis open source.

Sumber: Kotler, Philip. Ned Roberto. Nancy Lee. 2002. Social Marketing: Improving The Quality of Life Second Edition. Sage Publications, Inc.

Lanjutkan...

ARTI SIMBOLIK DARI BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

Kraton merupakan sebuah simbol keagungan dari masa lampau serta sejarah perjuangan di nusantara. Keberadaannya memiliki makna yang sangat sakral khususnya bagi orang suku jawa. Mengingat bahwa pendiri dan pembangun Kraton Yogyakarta itu masyur dengan kepandaiannya berperang, kepandaiannya tentang membangun, ahli tentang ilmu kebatinan, tentang agama dan budaya karawita. Karya yang pernah diabadikan salah satu diantaranya adalah Kraton Yogyakarta. Mustahil jika maha karya yang menjadi kebanggan selama berabad-abad tidak mengandung arti. Tulisan ini sedikit menjelaskan tentang pemaknaan (semiotika) tentang tata ruang dan bangunan Kraton Yogyakarta.

A. Krapyak
Bangunan Panggung Krapyak berbentuk persegi empat seluas 17,6 m x 15 m. Dindingnya terbuat dari bata merah yang dilapisi semen cor dan disusun ke atas setinggi 10 m. Bagian dinding kini tampak berwarna hitam, menunjukkan usianya yang hampir menyamai usia Kota Yogyakarta, seperempat milenium.
Bangunan Panggung Krapyak merupakan bangunan berbentuk simetris (nyaris seperti kubus). Pembagian ruangan dipisahkan oleh koridor-koridor dengan langit-langit atas berbentuk melengkung. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I yang bertahta 13 Februari 1755 hingga 24 Maret 1792. Panggung Krapyak terdiri atas dua lantai. Kedua lantai tersebut dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu (tangga ini sekarang sudah tidak ada lagi). Lantai atas merupakan lantai yang terbuka dengan pagar yang juga terbuat dari tembok mengelilingi setiap sisi lantai.

Gambar 2.11 Panggung Krapyak Paska Gempa Jogja 27 Mei 2006.


Sepanjang jalan dari panggung Krapyak sampai Plengkung Gading ditanam pohon Asam dan Tanjung. Sementara dari Plengkung Gading sampai Alun-Alun Selatan hanya ditanam pohon Asam Krapayak merupakan sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh (tasteofjogja.com). Disebelah utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari perkataan Wiji (Benih). Jalan lurus ke utara, kanan kiri dihiasi dengan pohon asem dan tanjung.
Tanaman Tanjung melambangkan bahwa anak kecil itu masih perlu disanjung. Bersamaan dengan pohon Asem, maka potongan kata sem dan njung melambangkan rasa sengsem menyenangkan dan tersanjung/disanjung. Masa kanak-kanak memang merupakan masa yang nengsemake menyenangkan dan perlu untuk disanjung/didukung. Pohon Tanjung dan pohon Asem ini ditanam untuk mengingatkan orang akan makna simbolik tersebut.
Pengunaan panggung Krapyak hingga penanaman pohon hingga disepanjang jalan menuju Plengkung Nirbaya menggambarkan kehidupan sang Anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, penampilannya nengsemaken (menarik perhatian) serta disanjung-sanjung selalu, diistimewakan oleh ayah dan ibunya.

B. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya.
Plengkung gading ini menggambarkan batas periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra-puber (remaja). Dalam plengkung Nirbaya ditanami pohon asem yang melambangkan kemudaan. Penampilan dan tingkah laku sang anak masih nengsemaken (pohon asem), apalagi suka menghias diri (nata sinom). Sinom merupakan daun asem yang masih muda, warnanya hijau muda, sangat menarik tetapi dapat berarti pula rambut-rambut halus di dahi pemudi yang akan menambah daya tarik tersendiri. Sinom tersebut selalu dipelihara dengan cermat oleh pemudi-pemudi karena dapat menambah kecantikannya.


Gambar 2.12 Pohon Asem Sepanjang Jalan Menuju Plengkung Gading.


C. Alun-Alun Kidul (Selatan)
Alun Alun Kidul merupakan wilayah Kraton Yogyakarta yang berupa tanah lapang/lapangan luas yang terletak di sebelah selatan kraton (masih dalam jeron benteng). Alun-alun berarti lapangan yang luas yang berada di depan dan di belakang kraton. Jadi, Alun-alun Kidul adalah alun-alun yang terletak di selatan kraton. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi belakang. Hal tersebut sesuai dengan keletakan Alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang kraton
Alun-alun Kidul (selatan) tahun 1920 situasinya sudah berbeda dengan alun-alun sekarang, meskipun ringin kurungnya masih tetap sama. Tentu sudah mengalami berbagai macam perubahan disekitarnya, misalnya jalan yang melingkari alun-alun selatan sudah beraspal, pada jaman dulu, setidaknya sampai tahun 1960-an, belun diaspal seperti sekarang, bahkan alun-alunnya tidak ditanami rumput hijau. Pada tahun-tahun itu, di tengah alun-alun selatan ada taman sebagai tempat bermain anak-anak, tetapi taman itu sekarang sudah tidak ada.

Gambar 2.13 Alun-Alun Kidul Tahun 1920.


Yang khas dari alun-alun selatan sekarang ialah, setidaknya mulai awal tahun 1990an, banyak orang percaya, siapa bisa berjalan dengan mata tertutup sampai melewati tengah diantara dua Ringin kurung akan mendapat berkah. Ritual untuk melewati dua pohon beringin yang disebut Ngalah Berkah. Menurut sebagian orang Ngalah berkah bukanlah takhayul, tetapi sebuah sarana untuk menghantarkan permohonan pada Tuhan. Terkabul atau tidaknya tergantung pada Sang Kuasa Kegiatan itu setiap hari ramai dilakukan oleh orang, baik tua maupun muda. Kalau Sabtu malam, akan penuh orang menjalani ritus seperti itu.
Meskipun ada yang sudah berkembang dari segi fisik, namun Ringin Kurung-nya tetap berada di tempatnya, dan fungsi ruang publik alun-alun selatan semakin menemukan maknanya. Alun alun kidul seringkali disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang, Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman (istirahat) para Dewa
Didalam kawasan alun-alun selatan terdapat 1 pohon beringin bernama Wok. Wok berasal dari kata bewok. Dua pohon beringin di tengah-tengah alun-alun menggambarkan bagian badan yang sangat rahasia, maka dari itu diberi pagar batu bata dengan makna agar selalu dijaga. Jumlah pohon beringin tersebut adalah 2. Angka ini diungkapkan sebagai pria sedangkan namanya yaitu Supit Urang menggambarkan wanita.
Lima buah jalan raya yang bertemu satu sama lainnya disini menggambarkkan panca indera. Tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lainnya. Hal ini menyimbolkan Apa yang ditangkap manusia melalui panca inderanya belum teratur. (Brotodiningrat, 1978: 13). Ketika terdapat sesuatu yang menarik perhatian maka keteraturan tersebut baru muncul. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan Pakel.

Gambar 2.14 Alun-Alun Kidul (Selatan) Pada Masa Sekarang.


Tanaman pakel (sejenis mangga) melambangkan masa akil balig. Sama halnya dengan asem, kata pakel digunakan potongan katanya, yakni kel untuk menyiratkan salah satu simbolisasi kehidupan pada masa akil balig. Konon hal ini dilakukan karena potongan kata kel cukup mengingatkan orang akan kata akil balig. Simbolisasi pohon pakel ini tidak bisa dilepaskan dari pohon kweni (sejenis mangga) yang melambangkan rasa wani berani berolah asmara karena telah memasuki masa akil balig (Depdikbud, 1995: 21). Lebih-lebih dengan ditanamnya pohon pakel itu, diharapkan orang akan segera ingat akan makna simboliknya. Simbolisasi dari alun-alun kidul dengan pohon ini adalah sang anak sekarang sudah wani (berani) karena sudah akhil baligh (dewasa).

D. Tratag
Sebelum memasuki Siti Hinggil Kidul maka memasuki sebuah Tratag yang merupakan persinggahan dengan anyaman bambu. Di sebelah kana kirinya tumbuh pohon-pohon Gayam. Tanaman gayam melambangkan rasa ayem tenteram, tenang. Sama halnya dengan asem, kata gayam digunakan potongan kata atau suku kata terakhirnya yakni yam untuk menyimbolisasikan rasa ayem tenteram, tenang.
Di samping itu, pohon gayam juga dipercaya sebagai pohon yang dapat menyimpan/mendekatkan air ke permukaan tanah sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Ketersediaan air berarti juga ketenangan dan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itulah pohon gayam digunakan sebagai simbol rasa keayeman. Selain hal tersebut, daunnya yang selalu lebat memberikan rasa teduh dan suasana tenang di sekitarnya (Depdikbud,1995: 36)

Gambar 2.15 Pohon Gayam.


Pohon-pohon gayam tersebut dilengkapi dengan daun-daun yang rindang serta bunga-bunga yang harum wangi. Siapapun yang berteduh di bawah Tratag itu akan merasa aman, tentram, senang dan bahagia. Hal tersebut menggambarkan rasa pemudi-pemudi yang sedang dirindu oleh cinta asmara. Merasakan harum, indah, bahagianya dunia melalui asmaranya.

E. Siti Hinggil Kidul (Selatan)
Kompleks bangunan Siti Hinggil Kidul terletak di sebelah utara Alun-alun Kidul Kraton Yogyakarta. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 sentimeter dari permukaan tanah di sekitarnya. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792).
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII kompeks bangunan Siti Hinggil Kidul mengalami perbaikan serta ditambah jumlah bangunannya. Siti Hinggil Kidul ini untuk saat sekarang lebih terkenal dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad.

Gambar 2.17 Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad).


Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit kraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg. Pada zaman dulu juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya: Tratag Rambat dan Bangsal Siti Hinggil
Ditengah-tengah Siti Hinggil Kidul dahulu terdapat pendopo dan ditengah pendopo tersebut terdapat selogilangnya, tempat singgasana Sri Sultan. Kanan-kiri terdapat tempat duduk kerabat kraton dan abdi dalem lainnya. Pria, Wanita berkumpul menghormat Sri Sultan. Menggambarkan pemuda dan pemudi duduk bersanding di kursi temanten (pernikahan).
Mengapit bangunan Sitihinggil Kidul ditanam pohon gayam yang berstruktur kusat, dan berbunga harum. Sementara beberapa kalangan menafsirkan bahwa Gayam mengandung arti ayem atau tenteram. Pohon-pohon lain yang ditanam di sini ialah pohon mangga Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah dan ada yang putih. Keadaan ini merupakan simbol dari bercampurnya benih manusia Pria dan wanita dalam sebuah pernikahan. (Brotodiningrat, 1978: 13)
Kanan kiri pendopo Siti Hinggil, di halaman sebelah timur dan barat terdapat kamar mandi. Siti hinggil kidul ini dilingkari oleh sebuah jalan yang bernama Pamengkang. Bangunan ini merupakan dua buah lorong berdinding tembok menjorok ke belakang/arah utara dengan ketinggian tembok sekitar 4 meter. Keletakan dan bentuknya sama antara satu dengan lainnya. Bangunan ini diberi nama Pamengkang karena menyiratkan makna simbolik dari posisi kaki yang mekangkang terentang atau selangkang Pamengkang berasal dari kata mekakang yang merupakan keadaan kaki ketika terletak sedikit jauh satu sama lainnya.

Gambar 2.18 Pamengkangan.


Untuk membaca selengkapnya tentang Semiotika Dan Simbolisasi Bangunan Kraton Yogyakarta dapat dowload disini
"SIMBOLISASI BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA"
sedangkan untuk foto-foto kraton yogyakarta selengkapnya dapat didownload disini
"FOTO BANGUNAN KRATON"
"FOTO PRAJURIT KRATON"
"FOTO PERKAMPUNGAN KRATON"

DAFTAR REFERENSI


Depdikbud. 1995. Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan Kraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Jakarta: Depdikbud.
Brotodiningrat, KPH. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta

http://www.tasteofjogja.com/web/ida/detailbud.asp?idbud=340

Lanjutkan...

SINETRON ANAK : TERPINGGIRKAN*


Untuk mengidentifikasi sebuah sinetron yang ditujukan untuk kelompok usia tertentu, apakah masuk dalam segmen anak-anak, remaja, dewasa atau keluarga. Bisa dilihat dari (1) tokoh pemainnya, dan (2) penggarapannya, seperti laga dan dialognya.

Mayoritas jam-jam siar televisi diperuntukkan bagi pemirsa dewasa. Atas dasar pengamatan pribadinya, Arswendo menemukan, bahwa:

“Sekarang ini sinetron didominasi sinetron untuk orang dewasa. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, setiap harinya sinetron untuk orang dewasa kira-kira 40 jam setiap hari. Di luar negeri sekitar 25 jam. Anak-anak nggak ada 5 jam. Itu dari orang tua dan anak.”

Tidak hanya itu, ternyata sineton-sinetron anak-anak umumnya diimpor dari luar negeri. Sinetron murni anak-anak seperti Teletubies, Crayon Shinchan dan Doraemon yang berhasil meraih audience rating lumayan ialah sinetron impor. Sinetron tersebut memang murni ditujukan untuk pemirsa anak-anak. Gufron Syakaril mengatakan :

“Teletubies itu justru banyak ditonton oleh orang yang nggak tahu apa-apa itu. Tetapi memang dari sananya begitu. Umur 3 tahun atau 2 tahun, yang ngowo begitu. Ternyata banyak yang berumur dibawah 5 tahun daripada yang sudah sekolah. Anak-anak yang sudah sekolah ada yang senang, tetapi masih lebih banyak anak-anak yang lebih kecil daripada itu. Datanya dari ACNielsen, dia bikin profil pemirsanya.”

Keberadaan sinetron-sinetron anak-anak impor itu memang menimbulkan kritik keras karena dicurigai membawa nilai budaya asing yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Misal, Teletubies, dikritik karena menggambarkan okoh homo yang tidak jelas identitasnya. Crayon Shincan menggambarkan anak yang cerdas tapi kurang ajar.

Sementara sinerton anak-anak murni asli indonesia justru bisa dihitung dengan jari. Misal, Incen yang ditayangkan di RCTI. Yang lebih parah, sinetron anak-anak Indonesia umumnya “diseret-seret” sehingga menjadi sinetron keluarga, tidak murni sinetron anak-anak lagi. Ada tokoh ayah, ibu dan anak. Andi Bersama menggambarkan fenomena ini dengan mengatakan :

“Umumnya, sinetron anak-anak bergeser menjadi sinetron keluarga setelah episode ke 5-6. Hal itu terlihat dari identifikasi pemain-pemainnya. Akhirnya sinetron itu bergerak menjadi sinetron keluarga dengan peran ayah, ibu dan anak.”

Mencermati jajaran sinetron yang pernah masuk dalam jajaran sepuluh besar selama 54 minggu (6 Agustus 2000 – 25 Austus 2001) maka tampak jelas, disana ada Bidadari, sinetron yang awalnya dimaksudkan untuk sinetron anak-anak. Namun apabila dicermati, tokoh-tokoh yang diangkat ada tokoh lala (diperankan oleh Marshanda), tokoh antagonis Bombom (diperankan Cecep), kemudian ada juga peran ayah dan ibu. Jadilah sinetron keluarga juga.

Ada juga sinetron anak-anak yang terseret kemana-mana sehingga identitasnya menjadi tidak jelas. Misal, Saras 008. Lagak dan dialognya menggunakan sinetron anak-anak, tetapi usia pemeran utamanya jelas bukan anak usia 9 tahun kebawah. Selain itu, sinetron tersebut juga penuh dengan peran yang dimainkan oleh orang dewasa.

Pemicu minimnya sinetron anak-anak sesungguhnya sangat klise, masalah keterbatasan sumber daya manusia. Indonesia sangat miskin penulis yang mampu menerjemahkan psikologi anak kedalam bentuk naskah dan skenario sinetron cerita anak-anak yang bagus. Gufron Syakaril mengakui:

“Ya sesunggunya kita miskin sinetron anak-anak. Dalam arti yang sesungguhnya. Saat ini sinetron anak-anak sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Hal itu karena sulit mencari penulisnya.”

Soal kecenderungan “menggeret” sinetron anak-anak menjadi sinetron anak dan keluarga, tertumpu pada persoalan kebudayaan indonesia dimana anak-anak selalu ditempatkan pada kontek keluarga dan diproteksi dalam suatu keluarga. Gufron Syakaril mengatakan:

“Itu tak dapat dipungkiri karena dunia anak-anak itu lingkungan keluarga. Kalau anak-anak dibiarkan berkembang sendiri, mungkin akan uncontolable. Biasanya kita agak susah. Ketika semua tokohnya anak-anak, ceritanya menjadi tidak menarik. Ya ketika suatu saat harus ada petuah, lalu petuah itu datang dari mana, kan susah. Masa anak-anak ngajari temennya kan susah juga, iya kan? Biasanya petuah, contoh, kebaikan dan sebagainya datang dari orangtua, paman, atau yang lain. Itu akan terasa lebih wajar dan berlaku dalam masyarakat kita. Jarang sekali anak kecil menasehati temannya.”

Sementara itu Arswendo Atmowiloto mengatakan:

“Karena sinetron anak-anak dalam konteks Indonesia peran orang hampir tidak ada, hampir nggak mungkin. Seperti Agree fen. Sebenarnya bisa tapi agak sulit.”

Disamping fakor budaya, ada faktor lain yang turut memiliki andil besar dalam arus menggeret sinetron anak-anak menjadi sinetron anak-anak setengah keluarga, yaitu audience rating. Misalnya sinetron Bidadari yang telah terseret menjadi sinetron anak dan keluarganya, mampu menempati rating sepuluh besar teratas.

Dalam kondisi keterbatasan penulis cerita anak yang sedemikian parah, hal ini dipandang “bisa dimaafkan” dengan sejumlah kondisi, anak-anak harus tetap menjadi subjek. Arswendo Artowiloto mengatakan:

”yang menjadi masalah, kalau sinetron anak-anak tapi dominasi cerita dan penentunya atau decision maker dari awal sampai akhir anak-anak, itu bahkan menjadi masalah.”






* Dikutip penuh dari Muh labib. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.Jakarta: MU:3 Books hal 88-91.


Lanjutkan...

TRANSFORMASI GENDER DALAM MEDIA GAME


Terdapat beberapa pertanyaan ringan yang bisa ditanyakan kepada orang yang bermain game online yaitu pernahkan mereka bertemu dengan karakter wanita dalam bermain game online? Yakinkah mereka bahwa karakter tersebut benar-benar seorang wanita (bukan wanita jadi-jadian) ? Dan kemudian dapat pula, ditanyakan pernahkah mereka memainkan karakter wanita ?

Banyak sekali karakter wanita yang terdapat dalam game. Hampir tidak ada game (baik game online ataupun game offline) yang tidak memiliki karakter wanita sama sekali didalamnya. Bahkan seringkali keberadaan karakter wanita tersebut membawa kontoversi yang besar dalam dunia nyata. Dalam game konvensional (offline), terdapat beberapa game yang dianggap melecehkan kaum hawa tersebut. Ambil contoh game Death or Alive (DOA) dimana seluruh karakter yang dimainkan berupa seorang wanita. Game tersebut menunjukkan (memperinci detail) keindahan alami dari seorang wanita dengan sebuah pertunjukan dada serta paha.

Walaupun karakter wanita dalam game online tidak dianugerahi keindahan wujud secara detail tetapi keberadaan karakter wanita sebagai seseorang yang potensial untuk dilecehkan menjadi sebuah poin tersendiri dari dunia game. Sebernarnya pelecehan terhadap karakter (atau lebih tepat sebagai id) tidak hanya terjadi dalam dunia game, hal ini juga berlangsung dalam mailist ataupun chatroom kegiatan dunia cyber lainnya. Dalam dunia maya, seorang (dengan id) wanita tidak dapat lepas dari unsur-unsur pelecehan tetapi hanya dalam game onlinelah yang menyediakan wujud visual dari id tersebut untuk dapat dipermainkan. Tindakan pelecehan tersebut tidak lepas dari adanya kebebasan dalam memilih identitas yang akan ia gunakan didunia maya.

Cyberspace ataupun secara khusus dunia game merupakan alternatif publik sphere dalam masyarakat modern. Dunia game menyajika realitas yang menyerupai dunia nyata secara visual tetapi berbagai hukum dan tatanan sosial dalam dunia nyata tidak berkembang akibat ideologi yang kuat dari masyarakatnya. Akibatnya terciptalah dorongan pembentuka perubahan sosial dalam masyarakat melalui media interaktif tersebut.

Perubahan sosial secara teknis dapat dijelaskan melalui beberapa faktor gender, entitas, agama dan pembangunan. Makalah ini digunakan dua variabel dalam pengaruh nya terhadap perubahan sosial. Teknologi dianggap sebagai salah satu aktor dalam perubahan sosial kemudian teknologi sendiri mendapatkan perannya sebagai produk yang dihasilkan oleh tatanan gender.

Teori fungsional-struktural mempersempit perubahan, hanya terbatas pada jenis proses tertentu saja. Mereka tidak menyangkal perubahan yang terjadi di berbagai tingkat, namun beropendirian bahwa perubahan sosial mengacu kepada perubahan di dalam sistem sosial (nilai-nilai) dan perubahan struktur (peran-peran sosial) (Lauer, 1989:155). Nilai-nilai yang dipresticekan dalam dunia fisik seringkali berubah secara total ketika berada dalam dunia maya.

Memang menjadi sebuah keanehan tersendiri, seorang pria sering merasakan gengsi ataupun adanya harga diri yang tinggi jika dihubungkan dengan segala sesuatu yang berbau feminisme. Tetapi dalam dunia game ternyata banyak pria yang berwujud wanita. Apalagi dalam game online, dimana identitas fisik asli tidak dapat terlihat oleh karakter lainnya sehingga mampu memberikan kesenangan tersendiri dalam melakukan penipuan. Karena memang inilah karakteristik dalam dunia virtual yaang selalu mengungkapkan serta mengagungkan ketidak dikenalannya (anonymous).

Role Playing Game (RPG) merupakan jenis game terfavorit yang memberikan kepuasan menjadi seorang wanita dalam game online. Salah satu alasan mengapa genre game ini menjadi terfavorit dalam perubahan genre mungkin dapat dilihat dari banyaknya dialog-dialog serta cerita yang dapat memperkuat identitas kewanitaannya. Selain itu terdapat pula berbagai hal bersifat teknis yang menjadi alasan kuat seseorang menggunakan karakter wanita seperti alasan skill yang lebih baik serta perhatian dari pemain lain. Kemudian hal lain yang menjadi alasan utama pemakaian karakter wanita adalah pada sensualitas keindahan visual grafiknya (entah bermaksud melecehkan ataupun hanya sekedar menikmati).

Sebenarnya, seseorang yang menggunakan karakter wanita dalam game belum tentu mampu menghayati (menikmati) keberadaannya sebagai wanita dalam game online. Ketakutan untuk membawa karakter wanita tersebut kedalam dunia fisik merupakan salah satu alasan yang membuat seorang gamer kurang menyenangi karakter tersebut. Jika dilihat dalam segi teknis maka karakter wanita merupakan jenis karakter dengan power yang lebih rendah dibanding karakter pria pada level yang sama. Kemudian adanya berbagai macam pelecehan yang mungkin terjadi sehingga membuat gamer online merasa kesal ketika berperan sebagai wanita. Mungkin hal inilah yang menyebabkan pembagian imbang secara gender dalam game online.

Ternyata perubahan menjadi karakter wanita ini juga dimanfaatkan oleh server untuk menguji serta mencari id pelaku tindakan pelecehan terhadap pemain lain. Server menggunakan id palsu tersebut sebagai sebuah tindakan preventif dari sikap-sikap tidak senonoh para gamer. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa seorang wanita merupakan sasaran yang potensial sebagai bahan pelecehan bagi kaum pria. Benarkah semua karakter wanita dalam Game Online cuma merupakan wanita jadi-jadian ? Belum tentu.

Banyak wanita yang juga menyenangi bermain game (online ataupun offline). Tentu hal tersebut memberikan fenomena dimana terdapat kemungkinan seorang wanita berganti gender menjadi pria. Tidak ubahnya sebuah fenomena dalam dunia fisik, dunia dalam game telah menyediakan fasilitas resmi bagi seseorang untuk mampu berganti jenis kelamin baik dari seorang wanita menjadi pria ataupun sebaliknya.

Mengingat kembali pendapat Moose (2003) yang menganggap bahwa gender merupakan seperangkat peran, menyampaikan kepada orang lain bahwa seseorag maskulin ataupun feminis melalui penampilan pakaian sikap, kepribadian. Sehingga transformasi gender terjadi dalam kondisi tersebut. Perubahanan seperti ini merupakan hak azasi bagi user dalam cyberspace dan tidak ada hukum dunia fisik (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang dapat membatasi ruangan bebas tersebut.

Perubahan sosial secara tegas dapat dimaknai sebagai perubahan terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap belum ada ataupun tuntutan dari perasaan ketidak adailan sosial dan kemapanan. Dalam tahapan ini teknologi membawa peranan yang signifikan dengan adanya perspektif maskulin dan feminis didalamnya. Pada kenyataannya, pembedaan tersebut telah mengalami berbagai macam perubahan, dimulai dari penggunaannya secara kuantitatif hingga realitas didalamnya berupa transformasi gender.

Phillips (1982) mengungkap You dont have to wear anything (Evert N. Rogers, 1986: 43). Ungkapan tersebut dapat juga diartikan secara harafiah ataupun sebagai kiasan. Secara harafiah kalimat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dapat telanjang secara jasmani saat melakukan akses ataupun masuk dalam dunia maya (game). Secara kiasan, statement tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak perlu berlaku jujur ataupun sebaliknya dalam dunia maya. Tidak diperlukan topeng-topeng sosial yang telah menciptakan hierarki masyarakat fisik. Kemudian benarkah kita tidak perlu memakai wajah sosial kita? Benarkah virtual community mampu membawa kita terhadap penghapusan strata sosial yang menjadi budaya masyarakat?

Secara ideologis hal tersebut dapat terjadi terutama jika melihat karakteristik dari dunia cyber sendiri yang lebih berupa pada bentuk anonymous (ketidak dikenalan). Dengan karakter tersebut memacu adrenalin manusia yang memuja sebuah kebebasan untuk berlaku lebih brutal. Dalam dunia fisik komunitas pemuja segala bentuk kebebasan telah menghadirkan komunitas Punk. Sedangkan dalam dunia cyber kondisi tersebut dapat menghasilkan komunitas cyberpunk. Walaupun secara harafiah komunitas cyberpunk tidak dapat disamakan dengan komunitas identitas palsu, setidaknya hal tersebut merupakan sebuah wujud kebebasan manusia dalam berpendapat, berbicara bahkan menumpahkan segala bentuk ketidakstabilan emosinya.

Wujud pemberontakan terhadap tatanan budaya yang beredar dalam masyarakat tampaknya menjadi dalang utama dari penggunaan identitas palsu. Virtual Community memiliki perasaan yang terkekang, terhempas bahkan tersingkirkan dari perilaku normal dalam dunia fisik. Dalam hal tersebut dunia virtual telah menyediakan sebuah ruangan yang memungkinkan jiwa pemberontak tersebut mampu berkembang. Tentu pemakaian nama samaran (computer name) menjadi sebuah media alternatif yang layak digunakan untuk melampiaskannya. Dengan memposisikan kehidapan network sebagai suatu bentuk komunikasi interaktif dimana terjadi keseragaman karakter media komunikasi (kesamaan bentuk tulisan) juga telah memberikan andil besar dalam pemakaian identitas palsu oleh komunitas virtual.


Game online membawa angin segar terhadap permasalah gender tersebut. Realitas yang menjadi menarik dimana kekuatan hukum secara sosial terhadap inferioritas wanita dan superioritas laki-laki, tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia game. Realitas yang dibawa kedalam dunia game merupakan realitas yang berbeda dari dunia nyata. Sehingga tawaran inilah yang menyebabkan adanya perubahan sosial terhadap sterotip gender.

DAFTAR REFEENSI



Evert N, Rogers. 1986. The Communication Technology.
Laurer, Robert H. 1989.Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta
Mosse, Julia Cleves. 2003.Gender dan Pembangunan, Pengantar Dr. Mansour Fakih. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Lanjutkan...

REPRESENTASI GENDER DALAM LIRIK THEME SONG SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


Aroma doktrin gender dalam budaya patriarki sudah tercium melalui lagu pembuka sinetron. Lirik dalam lagu sound track ini penuh dengan nuansa marjinalisasi gender. Perhatikan lirik berikut:


Begini begitu; Kesini kesitu; Manggut-mangut melulu;
Selalu mau; Kok ya mau
Dicaci-dimaki; Kata sang istri; Selalu nunduk-nunduk
Tapi hati mengkerut; Kaya kerupuk
Begini salah-begitu salah; Kata sang istri; Semua salah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Kasian banget deh loe...)
Begini salah-begitu salah; Dasar sang istri; Yang gak mau kalah
Takut...takut...takut; Sama istri sendiri; Kok malah takut
Ciut...ciut...ciut; Sama istri sendiri nyalinya ciut;
Ini kisah suami-suami; Yang takut sama sang istri
(Makanya jangan macam-macam sama perempuan...)


Diawal lirik, tampak penguatan terhadap adannya sterotip gender terhadap wanita. Lihat pada baris pertama lagu diatas.

Dicaci-dimaki...Kata sang istri...Selalu nunduk-nunduk...Tapi hati mengkerut...Kaya kerupuk...Begini salah-begitu salah...Kata sang istri...Semua salah...


Dalam lirik ini direpresentasikan adanya sterotyping bahwa seorang wanita memiliki otoriterisme terhadap cacian dan makian. Wanita dianggap sebagai makhluk yang non-altruistik. Kaum feminis juga dianggap memiliki egosentris yang sangat besar terutama terhadap kaum pria (dalam sitkom tersebut). Terlihat dari kalimat Begini salah begitu salah, kata sang istri semua salah. Egoisme wanita yang dikonstruksikan secara berlebihan (terlepas dari dekonstuksi oleh khalayak) memberikan nilai-nilai propagandis terhadap audiencenya terutama kaum maskulin. Ketika mendapatkan caci dan makian wanita, kaum maskulin yang sabar dianggap memiliki hati dan mental yang lemah (melempem). Seharusnya (menurut budaya patriarki) kaum maskulis harus bersikap tegas, keras bahkan (mungkin) kasar jika menghadapi dominasi kaum feminis. Perhatikan pada lirik reff berikut:

Takut.. takut.. takut Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt Ciut.. ciut ciut Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt


Dari semiotika sepenggal lirik yang diusung dalam sinetron ini, kalimat dalam lirik diatas memiliki multi-intepretasi dalam pemaknaannya. (1) Bahwa seorang suami seharusnya tidak takut dengan istri, mereka harus mampu memberikan kasih sayang dan nafkah pada istri (2) Seorang suami seharusnya tidak takut pada sang istri karena suami yang takut dengan istri adalah seorang pengecut (nyalinya ciut). Intepretasi kedua ini lah yang kemudian pada dasarnya melegitimasikan dominasi budaya partiarki dalam realitas sosial masyarakat yang diintepretasikan melalui sinetron.

Ideologi patriarki sebagai suatu istilah dari psikoanalisis the law of the father, yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa atau proses simbolik lainnya. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita Budaya patriarki tersebut menganggap bahwa kaum maskulis adalah kaum yang lebih dominan dalam segala hal termasuk urusan rumah tangga. Sedangkan wanita dipandang layaknya seseorang yang selalu dikontrol oleh pria. Ketika kontrol tersebut terlepas maka pihak pria lah yang dianggap lemah, bukan pria yang sesungguhnya karena tidak mampu menjaga wanita untuk tetap berada dibawah.

Posisi wanita dalam lirik ini tidak dipandang sebagai sebuah kesetaraan gender yang menganggap fungsi dan kedudukannya sama dengan pria tetapi lebih sebagai pemicu (integer) bagi olok-olokan yang ditujukan kepada para pria. Ideologi bahwa wanita seharusnya adalah objek bagi kaum pria baik sebagai objek seksual, dominasi lingkungan domestik, fungsi ekonomi diperkuat melalui lirik ini. Apakah ketika wanita sedikit mulai keluar dari subordinasinya maka hal tersebut merupakan penyalahan kodrat ? Ideologi dalam lirik ini mencitrakan ketika inferioritas kaum wanita menjadi berkurang maka seharusnya para pria (suami) harus kembali menekannya kedalam kultur patriarki mereka. Kurang lebih lirik tersebut ingin mempropagandakan para pria bahwa wanita termasuk istri merupakan makhluk yang harus tersubordinasi oleh pria sehingga jangan biarkan mereka mampu naik kelas. Jika hal tersebut terjadi maka seorang pria dianggap tidak memiliki keberanian (nyali).

Doktinasi dan pekatnya kekerasan gender begitu mendominasi dalam sitkom ini. Budaya-budaya yang dianggap sebagai salah satu wujud perjuangan kaum feminis, direkonstruksikan sedemikian rupa sehingga tak ayal malah melenceng dari idealisme semula. Masih pekatnya nilai-nilai patriarkis pada pengelola media massa merupakan cerminan dari kuatnya hegemoni ideologi dunia kapalis dunia industri hiburan (entertaintment). Televisi memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyaralat. Melalui interaksi simbolik, konstruksi sosial kadanga mampu menghadirkan dunia kesadaran jauh sebelum manusia memahami eksistensi materi dari yang disadari. Hegemoni media dilakukan melalui mekanisme tertentu untuk membentuk pemikiran media (agenda media) sebagai katalisator agenda setting dalam masyarakat.

Menurut Muh. Labib (2002) dalam bukunya Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial yang diterbikan olehMU:3 Books jakarta, bentuk kekuatan hegemoni industri adalah kemampuan menciptakan citra-citra baru dan menghapus citra-citra lama (Gregt T. Gothald menyebutnya sebagai ikonoklame). Penciptaan tersebut menghasilkan perubahan persepsi dan image masyarakat tentang sesuatu. Kodifikasi terhadap simbol-simbol propaganda yang dipetakan oleh sitkom ini (melalui liriknya) menghasilkan konsepsi budaya patriarki yang sistemik terutama terhadap kaum maskulis untuk selalu mengontrol (mental dan fisik) dari kaum feminis. Bukan lagi berada pada ranah perjuangan kaum feminis dalam mencapai kesetaraan gender.

Lanjutkan...

DIALEKTIKA KEKERASAN GENDER DALAM SITKOM SUAMI-SUAMI TAKUT ISTRI


McQuail (1989) dalam Dayanti menyebutkan media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma perilaku. Dalam hal ini media televisi lah yang membawa pengaruh pesan yang lebih efektif dibanding media massa lainya. Kekuatan utama dari televisi ialah format audio-visual yang mentransmisikan pesan kepada khalayak. Dengan keadaan ini maka media penyiaran memiliki pengaruh cukup kuat dalam penyebaran nilai dan ideologi tertentu.

Bungin dalam Labib (2002: 3) mengatakan media memiliki kekuatan besar untuk memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian memindahkannya melalui replika citra ke dalam realitas sosial yang baru dalam masyarakat. Jalaluddin Rachmad menyebut realitas televisi sebagai realitas tangan kedua (second hand reality)[1]sedangkan Marshal McLuhan menggunakan istilah “rearview mirrorism”[2]. Sen dan Hill (2001) berpendapat media massa memberikan representasi yang yang paling besar terhadap realitas sosial dalam masyarakat.

Sejalan dengan tumbuh kembang realitas sosial yang direkonstruksikan dalam media massa, tidak melepaskan persoalan gender didalamnya. Mulai dari industri periklanan yang seringkali menempatkan wanita sebagai objek strerotip gender. Lihat pada iklan rokok Gudang Garam dengan slogannya: “Pria Punya Selera”. Dari iklan tersebut, terlihat sebuah reduksi dimana pria adalah makhluk superior bila dibandingkan dengan wanita, oleh karena itu kedudukan pria lebih tinggi dari wanita. Konsep yang serupa juga diaplikasikan pada berbagai produk media penyiaran salah satunya sinetron.

Sinetron merupakan salah satu genre yang mendominasi industri media massa di Indonesia. Sinema Elektronik merupakan tayangan dengan menggunakan konsepsi film cerita yang kemudian dibawa kedalam format industri layar kaca (Labib, 2002: 1). Tidak berbeda dengan film, sinetron dalam menggambarkan wanita penuh dengan hiper-realitas yakni dipenuhi dengan nilai-nilai konsumerisme, seksualitas, dan stereotip gender (Suryandaru, 2002 dalam Dayanti).

Harapan akan hilangnya kekerasan terhadap wanita (dalam sinetron khususnya) rasanya ingin diwujudkan oleh Sitkom (sinetron) Suami-Suami Takut Istri. Sinetron ini mencoba menangkap kehidupan kelas menengah di Jakarta dengan sudut pandang yang berbeda. Pada permasalahan gender dalam media massa khususnya, wanita sering direpresentasikan sebagai subjek yang melakukan tindakan kekerasan sekaligus korban dari tindakan kekerasan tersebut. Budaya patriarki yang notabene ingin digusur oleh sineton tersebut, realitasnya semakin memantapkan representasi dominasi gender maskulin. Para suami yang dijadikan “korban” gender secara dialektis dibingkai menjadi pelaku (subjek) dari kekerasan gender itu sendiri.

Dialektika kekerasan gender dalam Suami-Suami Takut Istri terlihat sangat jelas melalui jalinan cerita yang memanfaatkan tokoh para suami dan para istri. Para istri dan suami secara dialektis ditempatkan sebagai subjek (pelaku) kekerasan gender sekaligus objek (korban) dari kekerasan gender. Para istri dipandang sebagai pelaku kekerasan gender secara fisik dengan menciptakan dominasi dan otoriterisme dalam lingkungan keluarga ketika mendapat kekuasaan. Kekuasaan tersebut didapatkan melalui kemampuan finansial (tokoh Deswita), kecantikan (tokoh Sheila), kewanitaan (keluguan dan kepolosan tokoh Welas) serta fisik yang besar (tokoh Sarmila/Bu RT). Kekerasan secara fisik yang menempatkan para istri sebagai subjek kekerasan gender ternyata menimbulkan dialektika terhadap kekerasan itu sendiri.

Walaupun para istri berada pada posisi yang dominan terhadap suami-suami mereka dengan cara mengontrol segala tingkah-laku, kegiatan bahkan keuangan. Tetapi hal ini direpresentasikan dengan karakter yang menganut ideologi skeptis tentang wanita. Stigma negatif bahwa wanita hanya mampu menggunakan “kewanitaannya” dan “kecantikannya” untuk memaksa suami pasrah menuruti segala keinginannya. Berbagai scene dan dialog antara pasangan Tigor-Welas dan Sheila-Karyo merepresentasikan hal ini.

Ketika Tigor berusaha untuk “merayu” Pretty atau melakukan kesalahan maka merengek dijadikan “senjata utama” bagi Welas untuk membawa Tigor kembali berada dalam kontrolnya. Begitu juga kecantikan Sheila yang selalu dipresentasikan lebih unggul dibanding Karyo, akan selalu membuat Karyo menuruti perintah istrinya. Karyo menerima segala makian, ejekan, olok-olok, perlakuan kasar istrinya hanya karena menganggap dia telah “kalah” secara fisik. Kecantikan dan keluguan dipandang hanya sebagai alat yang digunakan untuk mengontrol pria.

Dialektika lain pada sang istri, terdapat pada karakter Deswita dan Sarmila (Bu RT). Kedua karakter ini direpresentasikan mendominasi suaminya (wanita sebagai subjek kekerasan gender) dengan memanfaatkan stigma kekuatan finansial dan fisik (wanita sebagai objek kekerasan gender). Dengan membawa kultur ekonomi (finansial), bahwa ketika Deswita memiliki penghasilan yang lebih maka ia memiliki hak untuk menguasai suaminya. Terkadang dipandang sebagai “balas dendam” terhadap kultur patriakis dalam masyarakat. Mitchell (1994) dalam Dayanti menganggap patriarki adalah relasi hirarkhis antara pria dan wanita yang menempatkan pria lebih dominan dari wanita. Kembali ke persoalan Deswita, sayangnya kontrol kaum feminis ini bergerak terlampau jauh dan berlebihan terutama masalah keuangan. Untuk pengeluaran pun Faisal harus meminta uang pada Deswita. Representasi kekerasan gender terhadap wanita yang terbentuk ialah dengan kemampuan secara finansial maka segala kontrol rumah tangga dipegang oleh wanita yang membawanya kembali pada budaya patriarki tradisional (pandangan bahwa wanita lebih cermat mengurus keuangan/rumah tangga dibanding pria).

Sedangkan karakter yang dibawa oleh Sarmila (Bu RT), secara konsisten melakukan dominasi terhadap seluruh warga dilingkungan dengan memanfaatkan fisik yang besar. Hal ini merepresentasikan stigma bahwa wanita yang bertubuh besar akan mampu memaksa (secara kasar) orang lain untuk menuruti keinginannya. Dari keseluruhan representasi istri yang dibentuk oleh sitkom ini, mencitrakan bahwa wanita selain digambarkan sebagai subjek kekerasan maka sebernarnya ia adalah objek kekerasan gender dari kultur masyarakat yang diangkat media massa. Sekaligus melegitimasi stereotip wanita yang memiliki kekuatan (kecantikan, kewanitaan, fisik dan finansial) maka mereka menjadi sangat otoriter.

Pada karakter suami, dialektika yang terjadi ialah pria dijadikan objek kekerasan gender (oleh wanita) sekaligus subjek/pelaku kekerasan gender terhadap wanita. Melalui karakter-karakter suami, digambarkan bahwa pria yang tidak dominan adalah pria pengecut yang selalu ditindas oleh istrinya (cermati lirik lagu OST sitkom ini). Tindakan kekerasan fisik digambarkan secara eksplisit oleh sitkom ini sehingga memposisikan kaum pria sebagai korban kekerasan. Dimana Karyo dicubit perutnya, Faisal dijambak rambutnya, Sarmili dikurung dalam kamar mandi dan Tigor dengan pantomim. Kondisi ini memberikan representasi bahwa pria yang lemah ialah orang yang selalu dipermainkan oleh wanita.

Posisi objek (korban) ini berubah menjadi subjek (pelaku) ketika karakter suami bertemu dengan tokoh Pretty. Mereka menjadikan tokoh Pretty ini sebagai objek seksual yang tetap bisa “dinikmati” walaupun mereka telah berkeluarga (dapat dipandang sebagai pelecehan terhadap karakter wanita). Menurut Rohan (1998: 4), perilaku pelecehan termasuk (1) gerakan fisik misalnya rabaan, cubitan, tindakan intimidasi atau yang memalukan (kerlingan, siulan, tingkah tidak senonoh), rayuan seks badani dan serangan seksual. (2) Tingkah laku yang berupa ucapan seperti pernyataan yang dirasa sebagai penghinaan, lelucon yang bersifat menghina. (3) Bahasa yang bersifat mengancam dan cabul, rayuan seks verbal (4). Hal-hal yang menyinggung misalnya gambar-gambar porno, lambang dan lukisan grafis.

Sedangkan survey Alvred Marks (1991) menemukan bentuk pelecehan paling umum adalah rabaan/tepukan, ucapan atau gurauan seksual secara teratur, dilihat dari atas kebawah dan pandangan cabul pada bagian tubuh (Rohan, 1998: 9). El-Saadawi (2001: xxvi) dalam bukunya “Perempuan Dalam Budaya Patriarki” menganggap hak-hak seksual seperti yang dipraktekkan masyarakat barat tidaklah memberikan kemerdekaan kepada wanita, malah mengakibatkan bertambahnya penindasan karena wanita diubah menjadi tubuh-tubuh komersil serta peningkatan laba kapitalis. Hal ini mengukuhkan idealisme patriarki yang memandang bahwa maskulin akan selalu berada diatas feminim dalam keadaan apapun. Walaupun adanya dominasi kaum feminim, tetapi pria akan selalu mampu mencari celah untuk menjadikan wanita sebagai objek bagi mereka.

Sebenarnya penggambaran wanita yang dominan dan “kuat” kebanyakan justru menempatkan wanita itu sendiri sebagai objek olok-olok. Kekuatan yang diperlihatkan biasanya justru hal-hal yang hanya menampilkan “kekuatan” secara superfisial seperti ambisius, suka menang sendiri, sok-pintar, suka intrik. Hal ini tentu mereduksi konsep kesetaraan gender, diganti dengan skeptis yang dikonstruksikan oleh budaya patriarki. Perlakuan dan dominasi tersebut tidak hanya dilakukan oleh wanita dewasa, bahkan anak-anak (wanita) direpresentasikan memanfaatkan dominasi ibunya untuk menekan dan melakukan kekerasan terhadap pria. Idealisme kesetaraan gender yang mencoba diangkat melalui sitkom ini notabene hanya berubah menjadi dialektika kekerasan gender dan memperteguh ideologi budaya patriarki tradisional dalam media massa. Kentalnya budaya patriarki yang menyelimuti cara pandang pengelola media nyatanya tidak membawa kearah kesetaraan gender dalam Suami-Suami Takut Istri, yang tercipta ialah legitimasi budaya patriarki dan dialektika kekerasan gender.

DAFTAR REFERENSI



El-Saadawi, Nawal. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial. Jakarta: Mandar Utama Tiga Books
Mulyana, Deddy dan Idi Subandi Ibrahim. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Rohan, Collier. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Sen, K. Dan Hill, D.T. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi

Arsip Internet
Dayanti, Liestianingsih Dwi. Potret Kekerasan Gender Dalam Sinetron Komedi. Terarsip pada www.journal.unair.ac.id/filerPDF/POTRET%20KEKERASAN%20GENDER%20DALAM.pdf






[1] Rachmad (Mulyana, Deddy dan Idi Subandy Ibrahim, 1997: 235) mengatakan bahwa lewat layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, pemirsa diarahkan untuk mendefinisikan situasi sesuai dengan kehendak elit pengelola informasi. Orang bertindak dan mengambil keputusan tidak berdasarkan realitas, tetapi berdasar makna yang diberikan kepada realitas.







[2] McLuhan dalam Labib (2002: 14) menganggap televisi merupakan media baru yang mampu melakukan proses penggantian terhadap realitas.


Lanjutkan...

PONSEL DALAM PUBLIC SPHERE


McLuhan dalam Laurer (1989: 206) menyatakan bahwa setiap teknologi, secara bertahap menciptakan lingkungan kehidupan manusia yang sama sekali baru. Menurut pandangan ini, teknologi adalah kekuatan yang besar dan tidak dapat terbendung pengaruhnya pada perubahan. Dalam kaitannya dengan pubik sphere, perkembangan teknologi komunikasi terutama handphone selain membawa perubahan, turut serta menciptakan berbagai macam problematika tersendiri. Mengutip pendapat Denis Goulet,

“teknologisasi yang terjadi di dunia ketiga adalah ibarat pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai. Sebagai pembawa nilai-nilai borjuis-kapitalis barat yang rasionalistik, individualistik, postifistik, tetapi juga sekaligus penghancur nilai budaya lokal dan religius-asketis, fatalis serta memegang teguh prinsip collective colegia” (Arif dalam Abrar, 2003: 2)

Salah satu permasalahan krusial dalam pengadopsian teknologi komunikasi tersebut ialah produk budaya yang dihasilkan oleh salah satu layanan handphone bias dalam ranah publik.Walaupun seyogyanya masyarakat menggunakan handphone sebagai alat untuk menambah kemampuan orang dan berkomunikasi. Tetapi nilai imperalis dan kapitalis barat telah memaksakan penggunanya untuk merealisasikan budaya tersebut dalam ranah publik. Tengok problematika yang dihadapi oleh publik dengan kasus di Selandia Baru. Mengutip sebuah artikel yang diambil dari Kompas,(2007)

“Siswa sekolah menengah atas (SMA) di Selandia Baru akan diizinkan memakai bahasa seperti yang biasa dipakai dalam pesan singkat telepon seluler (SMS). Para pejabat pendidikan negeri kiwi itu, Jumat lalu, mengatakan, bahasa tulis ala SMS bahkan bakal diizinkan dipakai dalam ujian akhir nasional (UAN) tahun ini...”

Euforia terhadap hadirnya budaya populer yang dibawa oleh layanan handphone kemudian membentuk idealisme globalisasi atau mungkin adanya tekanan dari pihak yang lebih kuat dari pemerintah (baca: kapitalis internasional) yang menyebabkan hal tersebut. Budaya global yang tidak terlalu signifikan bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat ternyata secara sukses melakukan penetrasi kedalam lingkungan public sphere tepatnya ranah pendidikan. Apakah hal ini merupakan bentuk neo-imperialisme dan komersialisasi pendidikan di Selandia Baru ? Tak pelak lagi bahwa hukum dan proses legal memang merupakan bumbu esensial dari (Gramsian) hegemoni. (Latif & Ibrahim, 1996: 34).

Perubahan bentuk komunikasi melalui handphone pun tidak lagi dapat terelakan. Memasuki era dimana dunia media massa dan teknologi komunikasi informasi diintegrasikan kedalam sebuah jaringan virtual, komunikasi melalui handphone tidak lagi berbentuk komunikasi interpersonal (komunikasi bermedia). Komunikasi dengan media handphone mulai merambah dalam bentuk komunikasi massa. Hal ini sangat terbukti dengan hadirnya fasilitas teknologi informasi dalam industri media massa yang memungkinkan menampilkan pesan interpersonal handphone kedalam medianya. Tidak terkait dengan implikasi negatif ataupun positif yang menjangkiti kondisi tersebut, tetapi hal ini telah menunjukkan bahwa teknologi komunikasi mulai “dipersiapkan” bermeatamorfosis menjadi teknologi yang berbentuk lebih masif.

Problematika dari pergeseran ranah teknologi komunikasi (khususnya handphone) menjadi lebih masif semakin memperkeruh bias pemakaian handphone dalam publik ataupun private sphere. Seringkali seseorang mendapatkan SMS yang bersifat broadband[1] dari institusi tertentu yang notabene mengganggu lingkup privat seseorang. Kehadiran iklan, layanan serta informasi yang dianggap tidak signifikan kepada komunikan secara stimulan merupakan indikator biasnya ranah private dan publik yang dimiliki oleh handphone. Seharusnya bentuk komunikasi persona dalam handphone membawa pesan-pesan yang lebih bernuansa persona tetapi dunia kapitalis membawa pesan tersebut kearah konsep komunikasi massa. Komunikasi dimana membawa adanya komunikan secara masif sebagai acuan dianggap merupakan salah satu ruang publik bagi masyarakat. Siregar dalam makalahnya “Jurnalisme, Publiksphere dan Etika: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme” memandang, secara ideal ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang didalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal/ individu, yang bersih / terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi kehidupan publik adalah pada kehidupan warga masyarakat, dalam proses interaksi personal atas dasar kultural.

Dengan hadirnya entitas layanan massal handphone bagi konsumennya, mencitrakan user dari teknologi komunikasi (handphone) telah digiring menuju konsep ruang publik dalam lingkup kekuatan kapitalisme pasar (market capitalism). Dalam menghadapi kekuasaan kapitalisme pasar, warga masyarakat sebagai konsumen, yang dicerminkan dari nilai ekonomis warga bagi produsen dalam konteks kapitalisme (Siregar). Dengan memaksakan konsepsi sebagai konsumen dan produsen jasa, industri seluler telah mengaburkan bentuk dari komunikasi yang ditambatkan dalam teknologi komunikasi sebagai komunikasi bermedia dan interpersonal.

Menurut Evertt M. Rogers, pesan yang dibawa teknologi komunikasi adalah mendidik pemakaiannya untuk melakukan demassifikasi. Berdasarkan kata “de” yang berarti menegasikan masiffikasi, artinya pesan yang dibawa oleh teknologi komunikasi harus bersifat tidak massal (personal). Yang menjadi pengontrol pesan adalah khalayak dimana mereka dapat berhubungan dengan siapapun yang mereka kehendaki bahkan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan mereka (Abrar, 2003: 9). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan konsep media massa dimana kontrol pesan dilakukan oleh produsen pesan. Khalayak dipandang secara pasif hanya sebagai objek penerima pesan. Konsepsi seperti inilah yang sebenarnya membingkai hegemoni kapitalis industri seluler dalam pembiasan antara bentuk komunikasi interpersonal (private sphere) dan komunikasi massa (publik sphere) melalui teknologi komunikasi dalam handphone.

Sejarah telah mengajarkan bahwa perkembangan teknologi sering menimbulkan masalah baru. Malahan teknologi baru yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan teknologi sebelumnya, juga menimbulkan masalah baru (Lubis, 1985: 86). Mengutip pendapat Abrar (2003: 2), walaupun handphone menciptakan gaya serta tingkah laku kapitalis yang profit oriented dan mengamalkan budaya konsumtif. Walaupun handphone menjadikan penggunanya memiliki ideologi baru dalam konteks intelektualitas dan moralitas. Tetapi, itu memang harga yang harus dibayar untuk teknologisasi.


DAFTAR REFERENSI



Abrar, Ana Nadya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor: Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim. Mizan: Bandung.
Laurer, Robert H. 1989. Perpektif Tentang Perubahan Sosial. Bina Aksara: Jakarta.
Lubis, Mochtar. 1985. Transformasi Budaya Untuk Masa Depan. Jakarta: Inti Idayu Pers.

Arsip Internet
Siregar, Ashadi. JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA: Suatu Proses Produksi Makna Dalam Kerja Jurnalisme. Terarsip pada http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/10/2_konsep_publicsphere.pdf
Kompas. 2007. Terarsip pada href="http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm">http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0611/10/ln/3082575.htm






[1] Teknologi informasi dengan pengiriman data secara massal kebeberapa receiver secara serempak. Dalam ponsel teknologi ini digunakan operator untuk “berkomunikasi” dengan beberapa pelanggan dalam satu tempo waktu.


Lanjutkan...