ARTI SIMBOLIK DARI BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

Kraton merupakan sebuah simbol keagungan dari masa lampau serta sejarah perjuangan di nusantara. Keberadaannya memiliki makna yang sangat sakral khususnya bagi orang suku jawa. Mengingat bahwa pendiri dan pembangun Kraton Yogyakarta itu masyur dengan kepandaiannya berperang, kepandaiannya tentang membangun, ahli tentang ilmu kebatinan, tentang agama dan budaya karawita. Karya yang pernah diabadikan salah satu diantaranya adalah Kraton Yogyakarta. Mustahil jika maha karya yang menjadi kebanggan selama berabad-abad tidak mengandung arti. Tulisan ini sedikit menjelaskan tentang pemaknaan (semiotika) tentang tata ruang dan bangunan Kraton Yogyakarta.

A. Krapyak
Bangunan Panggung Krapyak berbentuk persegi empat seluas 17,6 m x 15 m. Dindingnya terbuat dari bata merah yang dilapisi semen cor dan disusun ke atas setinggi 10 m. Bagian dinding kini tampak berwarna hitam, menunjukkan usianya yang hampir menyamai usia Kota Yogyakarta, seperempat milenium.
Bangunan Panggung Krapyak merupakan bangunan berbentuk simetris (nyaris seperti kubus). Pembagian ruangan dipisahkan oleh koridor-koridor dengan langit-langit atas berbentuk melengkung. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I yang bertahta 13 Februari 1755 hingga 24 Maret 1792. Panggung Krapyak terdiri atas dua lantai. Kedua lantai tersebut dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu (tangga ini sekarang sudah tidak ada lagi). Lantai atas merupakan lantai yang terbuka dengan pagar yang juga terbuat dari tembok mengelilingi setiap sisi lantai.

Gambar 2.11 Panggung Krapyak Paska Gempa Jogja 27 Mei 2006.


Sepanjang jalan dari panggung Krapyak sampai Plengkung Gading ditanam pohon Asam dan Tanjung. Sementara dari Plengkung Gading sampai Alun-Alun Selatan hanya ditanam pohon Asam Krapayak merupakan sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh (tasteofjogja.com). Disebelah utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari perkataan Wiji (Benih). Jalan lurus ke utara, kanan kiri dihiasi dengan pohon asem dan tanjung.
Tanaman Tanjung melambangkan bahwa anak kecil itu masih perlu disanjung. Bersamaan dengan pohon Asem, maka potongan kata sem dan njung melambangkan rasa sengsem menyenangkan dan tersanjung/disanjung. Masa kanak-kanak memang merupakan masa yang nengsemake menyenangkan dan perlu untuk disanjung/didukung. Pohon Tanjung dan pohon Asem ini ditanam untuk mengingatkan orang akan makna simbolik tersebut.
Pengunaan panggung Krapyak hingga penanaman pohon hingga disepanjang jalan menuju Plengkung Nirbaya menggambarkan kehidupan sang Anak yang lurus, bebas dari rasa sedih dan cemas, penampilannya nengsemaken (menarik perhatian) serta disanjung-sanjung selalu, diistimewakan oleh ayah dan ibunya.

B. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya.
Plengkung gading ini menggambarkan batas periode sang anak menginjak dari masa kanak-kanak ke masa pra-puber (remaja). Dalam plengkung Nirbaya ditanami pohon asem yang melambangkan kemudaan. Penampilan dan tingkah laku sang anak masih nengsemaken (pohon asem), apalagi suka menghias diri (nata sinom). Sinom merupakan daun asem yang masih muda, warnanya hijau muda, sangat menarik tetapi dapat berarti pula rambut-rambut halus di dahi pemudi yang akan menambah daya tarik tersendiri. Sinom tersebut selalu dipelihara dengan cermat oleh pemudi-pemudi karena dapat menambah kecantikannya.


Gambar 2.12 Pohon Asem Sepanjang Jalan Menuju Plengkung Gading.


C. Alun-Alun Kidul (Selatan)
Alun Alun Kidul merupakan wilayah Kraton Yogyakarta yang berupa tanah lapang/lapangan luas yang terletak di sebelah selatan kraton (masih dalam jeron benteng). Alun-alun berarti lapangan yang luas yang berada di depan dan di belakang kraton. Jadi, Alun-alun Kidul adalah alun-alun yang terletak di selatan kraton. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi belakang. Hal tersebut sesuai dengan keletakan Alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang kraton
Alun-alun Kidul (selatan) tahun 1920 situasinya sudah berbeda dengan alun-alun sekarang, meskipun ringin kurungnya masih tetap sama. Tentu sudah mengalami berbagai macam perubahan disekitarnya, misalnya jalan yang melingkari alun-alun selatan sudah beraspal, pada jaman dulu, setidaknya sampai tahun 1960-an, belun diaspal seperti sekarang, bahkan alun-alunnya tidak ditanami rumput hijau. Pada tahun-tahun itu, di tengah alun-alun selatan ada taman sebagai tempat bermain anak-anak, tetapi taman itu sekarang sudah tidak ada.

Gambar 2.13 Alun-Alun Kidul Tahun 1920.


Yang khas dari alun-alun selatan sekarang ialah, setidaknya mulai awal tahun 1990an, banyak orang percaya, siapa bisa berjalan dengan mata tertutup sampai melewati tengah diantara dua Ringin kurung akan mendapat berkah. Ritual untuk melewati dua pohon beringin yang disebut Ngalah Berkah. Menurut sebagian orang Ngalah berkah bukanlah takhayul, tetapi sebuah sarana untuk menghantarkan permohonan pada Tuhan. Terkabul atau tidaknya tergantung pada Sang Kuasa Kegiatan itu setiap hari ramai dilakukan oleh orang, baik tua maupun muda. Kalau Sabtu malam, akan penuh orang menjalani ritus seperti itu.
Meskipun ada yang sudah berkembang dari segi fisik, namun Ringin Kurung-nya tetap berada di tempatnya, dan fungsi ruang publik alun-alun selatan semakin menemukan maknanya. Alun alun kidul seringkali disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang, Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman (istirahat) para Dewa
Didalam kawasan alun-alun selatan terdapat 1 pohon beringin bernama Wok. Wok berasal dari kata bewok. Dua pohon beringin di tengah-tengah alun-alun menggambarkan bagian badan yang sangat rahasia, maka dari itu diberi pagar batu bata dengan makna agar selalu dijaga. Jumlah pohon beringin tersebut adalah 2. Angka ini diungkapkan sebagai pria sedangkan namanya yaitu Supit Urang menggambarkan wanita.
Lima buah jalan raya yang bertemu satu sama lainnya disini menggambarkkan panca indera. Tanah berpasir artinya belum teratur, lepas satu sama lainnya. Hal ini menyimbolkan Apa yang ditangkap manusia melalui panca inderanya belum teratur. (Brotodiningrat, 1978: 13). Ketika terdapat sesuatu yang menarik perhatian maka keteraturan tersebut baru muncul. Keliling alun-alun ditanami pohon Kweni dan Pakel.

Gambar 2.14 Alun-Alun Kidul (Selatan) Pada Masa Sekarang.


Tanaman pakel (sejenis mangga) melambangkan masa akil balig. Sama halnya dengan asem, kata pakel digunakan potongan katanya, yakni kel untuk menyiratkan salah satu simbolisasi kehidupan pada masa akil balig. Konon hal ini dilakukan karena potongan kata kel cukup mengingatkan orang akan kata akil balig. Simbolisasi pohon pakel ini tidak bisa dilepaskan dari pohon kweni (sejenis mangga) yang melambangkan rasa wani berani berolah asmara karena telah memasuki masa akil balig (Depdikbud, 1995: 21). Lebih-lebih dengan ditanamnya pohon pakel itu, diharapkan orang akan segera ingat akan makna simboliknya. Simbolisasi dari alun-alun kidul dengan pohon ini adalah sang anak sekarang sudah wani (berani) karena sudah akhil baligh (dewasa).

D. Tratag
Sebelum memasuki Siti Hinggil Kidul maka memasuki sebuah Tratag yang merupakan persinggahan dengan anyaman bambu. Di sebelah kana kirinya tumbuh pohon-pohon Gayam. Tanaman gayam melambangkan rasa ayem tenteram, tenang. Sama halnya dengan asem, kata gayam digunakan potongan kata atau suku kata terakhirnya yakni yam untuk menyimbolisasikan rasa ayem tenteram, tenang.
Di samping itu, pohon gayam juga dipercaya sebagai pohon yang dapat menyimpan/mendekatkan air ke permukaan tanah sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Ketersediaan air berarti juga ketenangan dan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itulah pohon gayam digunakan sebagai simbol rasa keayeman. Selain hal tersebut, daunnya yang selalu lebat memberikan rasa teduh dan suasana tenang di sekitarnya (Depdikbud,1995: 36)

Gambar 2.15 Pohon Gayam.


Pohon-pohon gayam tersebut dilengkapi dengan daun-daun yang rindang serta bunga-bunga yang harum wangi. Siapapun yang berteduh di bawah Tratag itu akan merasa aman, tentram, senang dan bahagia. Hal tersebut menggambarkan rasa pemudi-pemudi yang sedang dirindu oleh cinta asmara. Merasakan harum, indah, bahagianya dunia melalui asmaranya.

E. Siti Hinggil Kidul (Selatan)
Kompleks bangunan Siti Hinggil Kidul terletak di sebelah utara Alun-alun Kidul Kraton Yogyakarta. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 sentimeter dari permukaan tanah di sekitarnya. Bangunan ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792).
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII kompeks bangunan Siti Hinggil Kidul mengalami perbaikan serta ditambah jumlah bangunannya. Siti Hinggil Kidul ini untuk saat sekarang lebih terkenal dengan nama Sasana Hinggil Dwi Abad.

Gambar 2.17 Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad).


Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit kraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg. Pada zaman dulu juga digunakan untuk tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya: Tratag Rambat dan Bangsal Siti Hinggil
Ditengah-tengah Siti Hinggil Kidul dahulu terdapat pendopo dan ditengah pendopo tersebut terdapat selogilangnya, tempat singgasana Sri Sultan. Kanan-kiri terdapat tempat duduk kerabat kraton dan abdi dalem lainnya. Pria, Wanita berkumpul menghormat Sri Sultan. Menggambarkan pemuda dan pemudi duduk bersanding di kursi temanten (pernikahan).
Mengapit bangunan Sitihinggil Kidul ditanam pohon gayam yang berstruktur kusat, dan berbunga harum. Sementara beberapa kalangan menafsirkan bahwa Gayam mengandung arti ayem atau tenteram. Pohon-pohon lain yang ditanam di sini ialah pohon mangga Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga yang halus panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah dan ada yang putih. Keadaan ini merupakan simbol dari bercampurnya benih manusia Pria dan wanita dalam sebuah pernikahan. (Brotodiningrat, 1978: 13)
Kanan kiri pendopo Siti Hinggil, di halaman sebelah timur dan barat terdapat kamar mandi. Siti hinggil kidul ini dilingkari oleh sebuah jalan yang bernama Pamengkang. Bangunan ini merupakan dua buah lorong berdinding tembok menjorok ke belakang/arah utara dengan ketinggian tembok sekitar 4 meter. Keletakan dan bentuknya sama antara satu dengan lainnya. Bangunan ini diberi nama Pamengkang karena menyiratkan makna simbolik dari posisi kaki yang mekangkang terentang atau selangkang Pamengkang berasal dari kata mekakang yang merupakan keadaan kaki ketika terletak sedikit jauh satu sama lainnya.

Gambar 2.18 Pamengkangan.


Untuk membaca selengkapnya tentang Semiotika Dan Simbolisasi Bangunan Kraton Yogyakarta dapat dowload disini
"SIMBOLISASI BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA"
sedangkan untuk foto-foto kraton yogyakarta selengkapnya dapat didownload disini
"FOTO BANGUNAN KRATON"
"FOTO PRAJURIT KRATON"
"FOTO PERKAMPUNGAN KRATON"

DAFTAR REFERENSI


Depdikbud. 1995. Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan Kraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Jakarta: Depdikbud.
Brotodiningrat, KPH. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta

http://www.tasteofjogja.com/web/ida/detailbud.asp?idbud=340

0 komentar: