SINETRON ANAK : TERPINGGIRKAN*


Untuk mengidentifikasi sebuah sinetron yang ditujukan untuk kelompok usia tertentu, apakah masuk dalam segmen anak-anak, remaja, dewasa atau keluarga. Bisa dilihat dari (1) tokoh pemainnya, dan (2) penggarapannya, seperti laga dan dialognya.

Mayoritas jam-jam siar televisi diperuntukkan bagi pemirsa dewasa. Atas dasar pengamatan pribadinya, Arswendo menemukan, bahwa:

“Sekarang ini sinetron didominasi sinetron untuk orang dewasa. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, setiap harinya sinetron untuk orang dewasa kira-kira 40 jam setiap hari. Di luar negeri sekitar 25 jam. Anak-anak nggak ada 5 jam. Itu dari orang tua dan anak.”

Tidak hanya itu, ternyata sineton-sinetron anak-anak umumnya diimpor dari luar negeri. Sinetron murni anak-anak seperti Teletubies, Crayon Shinchan dan Doraemon yang berhasil meraih audience rating lumayan ialah sinetron impor. Sinetron tersebut memang murni ditujukan untuk pemirsa anak-anak. Gufron Syakaril mengatakan :

“Teletubies itu justru banyak ditonton oleh orang yang nggak tahu apa-apa itu. Tetapi memang dari sananya begitu. Umur 3 tahun atau 2 tahun, yang ngowo begitu. Ternyata banyak yang berumur dibawah 5 tahun daripada yang sudah sekolah. Anak-anak yang sudah sekolah ada yang senang, tetapi masih lebih banyak anak-anak yang lebih kecil daripada itu. Datanya dari ACNielsen, dia bikin profil pemirsanya.”

Keberadaan sinetron-sinetron anak-anak impor itu memang menimbulkan kritik keras karena dicurigai membawa nilai budaya asing yang bertentangan dengan budaya Indonesia. Misal, Teletubies, dikritik karena menggambarkan okoh homo yang tidak jelas identitasnya. Crayon Shincan menggambarkan anak yang cerdas tapi kurang ajar.

Sementara sinerton anak-anak murni asli indonesia justru bisa dihitung dengan jari. Misal, Incen yang ditayangkan di RCTI. Yang lebih parah, sinetron anak-anak Indonesia umumnya “diseret-seret” sehingga menjadi sinetron keluarga, tidak murni sinetron anak-anak lagi. Ada tokoh ayah, ibu dan anak. Andi Bersama menggambarkan fenomena ini dengan mengatakan :

“Umumnya, sinetron anak-anak bergeser menjadi sinetron keluarga setelah episode ke 5-6. Hal itu terlihat dari identifikasi pemain-pemainnya. Akhirnya sinetron itu bergerak menjadi sinetron keluarga dengan peran ayah, ibu dan anak.”

Mencermati jajaran sinetron yang pernah masuk dalam jajaran sepuluh besar selama 54 minggu (6 Agustus 2000 – 25 Austus 2001) maka tampak jelas, disana ada Bidadari, sinetron yang awalnya dimaksudkan untuk sinetron anak-anak. Namun apabila dicermati, tokoh-tokoh yang diangkat ada tokoh lala (diperankan oleh Marshanda), tokoh antagonis Bombom (diperankan Cecep), kemudian ada juga peran ayah dan ibu. Jadilah sinetron keluarga juga.

Ada juga sinetron anak-anak yang terseret kemana-mana sehingga identitasnya menjadi tidak jelas. Misal, Saras 008. Lagak dan dialognya menggunakan sinetron anak-anak, tetapi usia pemeran utamanya jelas bukan anak usia 9 tahun kebawah. Selain itu, sinetron tersebut juga penuh dengan peran yang dimainkan oleh orang dewasa.

Pemicu minimnya sinetron anak-anak sesungguhnya sangat klise, masalah keterbatasan sumber daya manusia. Indonesia sangat miskin penulis yang mampu menerjemahkan psikologi anak kedalam bentuk naskah dan skenario sinetron cerita anak-anak yang bagus. Gufron Syakaril mengakui:

“Ya sesunggunya kita miskin sinetron anak-anak. Dalam arti yang sesungguhnya. Saat ini sinetron anak-anak sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Hal itu karena sulit mencari penulisnya.”

Soal kecenderungan “menggeret” sinetron anak-anak menjadi sinetron anak dan keluarga, tertumpu pada persoalan kebudayaan indonesia dimana anak-anak selalu ditempatkan pada kontek keluarga dan diproteksi dalam suatu keluarga. Gufron Syakaril mengatakan:

“Itu tak dapat dipungkiri karena dunia anak-anak itu lingkungan keluarga. Kalau anak-anak dibiarkan berkembang sendiri, mungkin akan uncontolable. Biasanya kita agak susah. Ketika semua tokohnya anak-anak, ceritanya menjadi tidak menarik. Ya ketika suatu saat harus ada petuah, lalu petuah itu datang dari mana, kan susah. Masa anak-anak ngajari temennya kan susah juga, iya kan? Biasanya petuah, contoh, kebaikan dan sebagainya datang dari orangtua, paman, atau yang lain. Itu akan terasa lebih wajar dan berlaku dalam masyarakat kita. Jarang sekali anak kecil menasehati temannya.”

Sementara itu Arswendo Atmowiloto mengatakan:

“Karena sinetron anak-anak dalam konteks Indonesia peran orang hampir tidak ada, hampir nggak mungkin. Seperti Agree fen. Sebenarnya bisa tapi agak sulit.”

Disamping fakor budaya, ada faktor lain yang turut memiliki andil besar dalam arus menggeret sinetron anak-anak menjadi sinetron anak-anak setengah keluarga, yaitu audience rating. Misalnya sinetron Bidadari yang telah terseret menjadi sinetron anak dan keluarganya, mampu menempati rating sepuluh besar teratas.

Dalam kondisi keterbatasan penulis cerita anak yang sedemikian parah, hal ini dipandang “bisa dimaafkan” dengan sejumlah kondisi, anak-anak harus tetap menjadi subjek. Arswendo Artowiloto mengatakan:

”yang menjadi masalah, kalau sinetron anak-anak tapi dominasi cerita dan penentunya atau decision maker dari awal sampai akhir anak-anak, itu bahkan menjadi masalah.”






* Dikutip penuh dari Muh labib. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial.Jakarta: MU:3 Books hal 88-91.


0 komentar: